Selasa, 29 Juni 2010

"Sudah Akh, Jangan Menggiati Poligami Kalau Masih Karna Nafsu.."

Bismillah..

-Saya dapatkan cerita ini dari Group Pecinta Radio Rodja yang di posting oleh Zainal Arifin- Ummu 'Aisyah.

Sepatah kisah. dari seorang akhwat di Jakarta.

Tolong disebarkan ke Group antum `Sudah Akh Jangan Menggiati Poligami Kalau Masih Karna Nafsu..`
Ini bukan tentang harta, dunia atau tahta, mungkin ini tentang cinta yang hanya senandung semata. Lamun sayu keringnya harapku, namun usaha hati bercerita penuh haru, apa itu benarnya ada ku tanya, untuk siapa kisahku dicipta, akupun tak tau siapa pemuda itu, mesti pasti fitnah itu adalah aku.

Ini sepatah kisahku..

Bermula bermalam di kota mimpi, kala hening tergantikan dengan cekikik riang diantara keduanya yang berjarak tatap layar. Ia gagah tegas membentangkan tentang hukum-hukum, tentang jumhur ulama, tentang kewajiban-kewajiban syari`at yang perlu ku ketahui. Ia fasih berceloteh dan aku gemar dengar dan pahami terkadang berbalas komentar yang kuketahui dari sedikit ilmuku. Begitu seterusnya hingga malam berganti malam dalam dua kali rotasinya, kemudian tiba ia nyatakan rasa yang menggelayuti hatinya terhadapku. Namun bukan hanya itu yang ia sampaikan, terkagetku pada kabarnya bahwa ia adalah seorang nahkoda dari dua anak. Dengan menata hatiku agar pula akal tetap pada posisinya, maka ku terima pinangannya untuk jadi madunya, dengan dasar untuk menghidupkan sunnah yang asing ini.hmmm..walau ku terburu tak teliti beberapa proposal yang menungguku. Ia begitu bahagia katanya, dan ku balas dengan senyum. Kami mulai merencanakan banyak hal, kami gelar dan mulai pisah-pisahkan mana hambatan mana pendukung, mulai memilah-milih mana solusi mana polusi.

Seraya begitu, serdadu setan merongrong hingga ke ubun, sampai kami sudi meramu kasih sekeping dua keping, mengadu kasih seteguk bersumur-sumur, walau perih di ujung-ujung jari kurasakan karna aku pernah mempelajari tentang hukum laku ini. Maka ku ingatkan ia untuk segera beritahu umminya anak-anak, namun selalu saja ia angkat marah mengguntur berkata `kakak lebih tau ummi kayak gimana dan harus pada waktu yang tepat untuk menyampaikannya!!` sekejap ku tunduk taat.

Tak perlu ku tahan, ummi telah tiba di sini, sebab takdir adalah saat telah terjadi di depan mata. Ummi menggelinangkan tangis dan amarah, ia minta diceraikan, itu yang kudengar dari ucapnya dan kuyakin pasti kejadiannya lebih hebat dari itu. Tiap detak detiknya waktu, gundah gelisah, khawatir akan suasana usang rumah sederhana di semenanjung Makassar itu akibat ulahku. Ku hanya berpesan `jangan sampai kaa, kau ceraikan umm, jangan kau pisahkan ranjangnya barang semalam saja, jangan kau pisahkan piringnya dalam waktu makanmu, aku akan membencimu karna ALLAH seumur hidupku jikalau kau lakukannya`. Namun yang kusesalkan ia mengiyakan dengan ragu, jelas kudengar dari ujung selulerku bahwa ia telah buta lagi dibuta-butakan oleh nafsu. Tiap saat ku bersikeras menyejukkan hatinya, menjernihkan akalnya, agar tetap pada jalan yang lurus. Hingga datang kabar gembira ummi menerimaku sebagai saudara keduanya. MasyaaALLAH beliau begitu tegar ikhlas, walau terselip rasa amarah itu wajar. Namun terheran aku beliau begitu lihai sembunyikannya dari alunan suaranya, dari kata yang di ucap, dari canda guraunya, beliau teladankanku ketegaran, keikhlasan dan kesabaran.

Syukurku tak pernah jeda, aku sungguh bahagia dengan kehangatan suasana ini, ku selalu bisikan keriangan ini ditelinga ummi. Cepat umm kemarikan jemarimu, biar kita rantai dengan rasa yang ada, usah pedulikan langit murung yang cemburu, sebab malam di perapian ini adalah kerinduan kita tentang rukun, karna terkadang abinya iri melihat kedekatan kita berdua. hehe..namun segera ku ajak abinya juga, telanjang kaki kami menari pada rumput setengah basah di pinggiran lidah api unggun yang menghangatkan.

Aku tau bahwa kebahagiaan dan kesedihan adalah mata uang yang tak terpisahkan. Sering kali ku berbuat salah bukan karna sengaja tapi karna kulalai dan bodoh. Dan setiap kali itu pula aku selalu diberi kesempatan oleh ummi dan abinya, maka pantaslah rasa syukurku bertambah. Sesal akhirnya, aku hampir terfitnah dengan ikhwan bujang yang sangat cerdas, ikhwan sekampusku, ikhwan yang telah mampu meminangku dibanding ia secara materiil. Tersambar petirlah ummi dan abinya ketika tau itu dari akun-akun mayaku (karna kuberi semua passwordku padanya), habis sudah kata-kata indah dari bibir keduanya. Terutama ummi, tak kuasa untuk menyerampahkan serapah kepadaku, ia menyebutku pelacur, mengataiku perusak rumah tangga orang, menyamakanku dengan hal-hal buruk lainnya,karna ku paham beliau tak rela abinya di injak-injak oleh anak kecil sepertiku (karna rentang waktu kami 10 tahun). Kuterima saja dengan kebisuan sejenak, namun ku bersitahan untuk meminta maaf, meminta rujuk dan meminta belas kasih. Rasanya waktu begitu keji, dengan menyudutkanku pada kehinaan ini sampai setelahnya kami rujuk kembali walau kepercayaan tak sebaik dulu, namun masih ada harap menyumbul kulihat.

Maka tiap kesempatan ku paraskan terus kepercayaan di hati-hati mereka, tak ku izinkan kebodohan berulang datang hancurkan semuanya. Dalam perjalanannya keringatku akan itu, ku dipertemukan dengan akhwat dalam satu majelis salaf, akhwat itu yang meminta untuk ku bertemu. Akhwat itu banyak penasaran akan kepemilikan hatiku, aku menjawab secara umum saja,seperti biasa. Namun ia bersitangguh lagi pancing-pancing nama abinya ummi, aku tersentak di kerongkongan, ada apa ku bertanya-tanya terus paksa untuk dapatkan jawaban.Akhirnya ia menangis dan kaku tanpa sebab yang tak ku ketahui, kupopor ia sampai ia mau ceritakan semuanya. Saat cerita itu mengalir dari ruang suaranya, saat itu pula rubuhlah segala teori tentang setia. Nyata, abinya ummi telah punya hubungan yang intens dengannya dulu sebelum denganku, tapi tak pernah jujur terangkan siapa dirinya.

Aku linglung di jalan yang lurus ini, tidak ada sadar akhirnya. Tak sanggup lagi ku mengepak sayap mengitari bumi atau menyibak kabut pagi, walau hanya memandang dunia pun aku tak sanggup. Aku menanggung sakit tiada bertabib, menanggung lara tiada pelipur, dirangkasayapku yang patah melawan badai tadi siang. Dihati yang tersayat oleh rasa, melawan benci diruang cinta. Dijantungku ini tertusuk duri, mungkin aku tiada tersadar lagi bahwa aku telah mati. Sudah, kuselesaikan semuanya tanpa kuasa meluapkan amarah, hanya ku katakan `aku marah kaa` hanya itu tidak lebih. Aku bertekad tak tuturkan ini ke ummi karna kutau bagaimana nanti hancur hatinya, biar saja abinya yang selesaikan semuanya. Sekarang aku tak ingin tau, siapa yang sebenarnya ia pilih dan ia cinta, aku atau akhwat itu, aku tak menginginkan tau itu, yang aku ingin sekarang hanya beritau ia bahwa ia tak bisa hidup menggiati cinta nafsu seperti ini. Ummi akan berikan akhwat yang sholehah jika ia mampu nanti, itu yang selalu ummi janjikan ketika awal pernikahan mereka dulu. Aku ingin sadarkan ia itu, hanya itu, berbalik pulanglah dan peluk ummi seraya menggendong anak-anak dipunggung dan tangannya, curahkan cinta kasih sayang sepenuhnya untuk mereka dahulu, menebus segala waktu yang hilang lalu, yang pernah dirampas dari mereka. Aku rela tak bersamanya, bukan karna kumudah mendapatkan ikhwan lain tapi karna ku mencintai dan membencinya karna ALLOH Ta`ala.

Angin, embun, sayap telah kulupakan menuju, hanya kenangan kini terbangkang. Ku tuang dalam gelas-gelas waktu kemudian kubuang semua angan dan mimpi lalu menyeberang. Kembali kurajut waktu yang telah terlepas, pergi dengan dengus terakhir sebelum senja bebas. Ku tau Tuhan tak melulu bungkam, dalam selubung putih aku bersujud, buntu kutemui jawaban, siksa ku berganti tenang, cintaku kembali bertaut, hatiku kembali berbunga, dengan kalamNya aku berteman, inilah aku yang dijaga olehNya karena pula menjagaNya. Aku merasa dicintai olehNya.

28 Juli 2010, oleh Unaisah Al-Jakartiyyah. Di Jakarta yang selalu merindukan Makassar berharap bertemu ummi, mengadu padanya, karna ku baru saja merasakan apa yang telah ia rasa akibat ulahku dulu. Karna komunikasi kita diputus oleh abinya ummi, tidak ada celah sama sekali, harapku suatu waktu nanti ku diperbolehkan angkat anak-anak menjadi anakku juga. Aku terlanjur sangat mencintai mereka. always luv u.

----------

P.S Spechless, bungkam, sediih, dan entah apa yang kurasakan setelah ku baca kisah ini. Sungguh menyayat dan mengiris hati. Semoga dapat menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya. Menjadikan sebuah pengingat untuk kita, bahwa pernikahan bukanlah karena hawa nafsu semata tapi untuk mencari Ridho Alloh ta'ala dan menjalankan sunnah Rasululloh shalallahu 'alaihi wassalam. Semoga Alloh selalu melindungi kita dari hal-hal yang keji dan mungkar. Allohumma amin.
-Ummu 'Aisyah-

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

4 komentar:

  1. saya kenal zaenal arifin yang diatas,......dan saya pernah ketemu ama dia juga di Masjid Ukhwah Islamiyah di Universitas Indonesia Depok.....

    dia mahasiswa fakultas ekonomi bisnis di UI....nih alamat facebooknya..

    http://www.facebook.com/#!/profile.php?id=1809791697&ref=search

    barangkali aja butuh,,...atau bisa nanya2 ama dia...hehehe

    BalasHapus
  2. hehe.. na'am syukron. tp buat apa ya? *bingung sendiri*

    BalasHapus
  3. apa ya?? mw ngomong apa ya?? bngung ya??

    BalasHapus