Jumat, 30 Juli 2010

Istriku Bukan Bidadari Tapi Aku juga Bukan Malaikat

Alhamdulillah, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, keluarga dan shahabatnya.

Anda telah berkeluarga? Bagaimana pengalaman anda selama mengarungi bahtera rumah tangga? Semulus dan seindah yang anda bayangkan dulu?

Mungkin saja anda menjawab, "Tidak."

Akan tetapi, izinkan saya berbeda pendapat dengan anda, "Ya," bahkan lebih indah daripada yang saya bayangkan sebelumnya.

Saudaraku, kehidupan rumah tangga memang penuh dengan dinamila, lika-liku, dan pasang surut. Kadang anda senang, dan kadang anda bersedih. Tidak jarang, anda tersenyum di hadapan pasangan anda, dan kadang kala anda cemberut dan bermuka masam.

Bukankah demikian, saudaraku?

Berbagai tantangan dan tanggung jawab dalam rumah tangga senantiasa menghiasi hari-hari anda. Semakin lama umur pernikahan anda, maka semakin berat dan bertambah banyak perjuangan yang harus anda tunaikan.

Tanggung jawab terhadap putra-putri, pekerjaan, karib kerabat, masyarakat, dan lain sebagainya.

Diantara tanggung jawab yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan anda ialah tanggung jawab terhadap pasangan hidup anda.

Sebelum menikah, sah-sah saja anda sebagai calon suami membayangkan bahwa pasangan hidup anda cantik rupawan, bangsawan, kaya raya, patuh, pandai mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah.

Bukankah demikian, saudaraku?

"Biasanya, seorang wanita dinikahi karena empat pertimbangan : harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, hendaknya engkau lebih memilih wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung." (Muttafaqun 'alaih)

Al-Qurthubi menjelaskan makna hadist ini dengan berkata, "Empat petimbangan inilah yang biasanya mendorong seorang lelaki untuk menikaji seorang wanita. Dengan demikian, hadist ini sebatas kabar tentang fakta yang terjadi di masyarakat, dan bukan perintah untuk menjadikannya sebagai pertimbangan. Secara tekstual pun, hadist ini menunjukkan bahwa dibolehkan menikahi seorang wanita dengan keempat pertimbangan itu. Akan tetapi, hendaknya pertimbangan agama lebih di dahulukan."

Keterangan al-qurthubi ini semakna dengan hadist yang di riwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Amr al 'ash radhiyallahu 'anhu, "Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Janganlah engkau menikahi wanita hanya karena kecantikan parasnya, karena bisa saja parasnya yang cantik menjadikannya sengsara. Jangan pula engkau menikahinya karena harta kekayaannya, karena bisa saja harta kekayaan yang ia miliki menjadikan lupa daratan. Akan tetapi, hendaklah engkau menikahinya karena pertimbangan agamanya. Sungguh, seorang budak wanita berhidung pesek dan berkulit hitam, tetapi ia patuh beragama, lebih utama dibanding mereka semua'."
(HR. Ibnu Majah, oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadist yang lemah)

Akan tetapi, sekarang setelah anda menikah, terwujudkah seluruh impian dan gambaran yang dahulu terlukis dalam lamunan anda??

Bila benar-benar seluruh impian anda terwujud pada pasangan hidup anda, maka saya turut mengucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat. Bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati atau kecewa.

Saudaraku, besarkan hati anda, karena nasib serupa tidak hanya menimpa anda seorang. Tetapi juga menimpa kebanyakan ummat.

Abu Musa radhiyallahu 'anhu menuturkan, "Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda, 'Banyak lelaki yang berhasil menggapai kesempurnaan, sedangkan tidaklah ada dari wanita yang berhasil menggapainya kecuali Asiyah istri Fir'aun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya, kelebihan Asiyah dibanding wanita lainnya bagaikan kelebihan bubur daging [1] dibanding makanan lainnya." (Muttafaqun 'alaih)

Saudaraku, berbahagialah dan berbanggalah dengan pasangan hidup anda, karena pasangan hidup anda adalah wanita terbaik untuk anda!

Anda tidak percaya?? Silahkan anda membuktikannya. Bacalah sabda Nabi shalallahu'alaihi wa sallam berikut ini, lalu terapkanlah pada istri anda.

"Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain." (HR. Muslim)

Saudaraku, anda kecewa karena istri anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir, karena ternyata istri anda adalah penyayang.

Anda kurang puas dengan istri anda yang kurang pandai mengurus rumah dan kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan.

Anda berkecil hati karena istri anda kurang cantik? Segera besarkan hati anda, karena ternyata istri anda subur sehingga anda mendapatkan karunia keturunan yang shalih dan shalihah.

Demikianlah seterunya.

Tidak etis dan tidak manusiawi bila anda hanya pandai mengorek kekurangan istri, namun anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya. Buktikan saudaraku, bahwa anda benar-benar seorang suami yang berjiwa besar, sehingga anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan anda.

Dahuli, Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam begitu peka dan mahir dalam membaca segala hal, termasuk suasana hati istrinya. Aisyah mengisahkan,

"Pada suatu hari, Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, 'Sungguh, aku mengetahui bila engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.' Spontan Aisyah bertanya, 'Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?' Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam menjawab, 'Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau sedang dirundung amarah maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata, 'Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku tinggalkan kecuali namamu saja." (Muttafaqun 'alaih)

Demikianlah teladan Nabi shalallahu'alaihi wa sallam. Beliau begitu peka dengan suasana hati istrinya, sehingga beliau bisa membaca isi hati istrinya dari ucapan sumpahnya. Walaupin Aisyah berusaha untuk menyembunyikan isi hatinya, tetap bermanis muka, senantiasa berada di sanding Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam, dan berbicara seperti biasa, namun Nabi shalallahu'alaihi wa sallam dapat menebak suasana hatinya dari perubahan cara bersumpahnya. Luar biasa, perhatian, kejelian, dan kepekaan yang tidak ada bandingnya.

Tidak mengherankan, bila beliau shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,

"Orang terbaik diantara kalian ialah orang yang terbaik dalam memperlakukan istrinya, dan aku adalah orang terbaik diantara kalian dalam memperlakukan istriku." (HR. Tirmidzi)

Bagaimana dengan anda, saudaraku? Dengan apa anda dapat mengenali dan meraba suasana hati pasangan anda?

Saudaraku, tidak ada salahnya bila sejenak anda kembali memutar lamunan dan gambaran tentang istri ideal dan idaman yang pernah singgah dalam benak anda. Selanjutnya, bandingkan gambaran istri idaman anda dengan gambaran Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam tentang kaum wanita berikut ini,

"Wanita itu bagaikan tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah, dan bila engkau bersenang-senang dengannya, niscaya engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan ia adalah bengkok." (Muttafaqun 'alaih)

Pada riwayat lain, beliau shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,

"Tidak mungkin istrimu kuasa bertahan dalam satu keadaan. Sesungguhnya, wanita itu bak tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah. Adapun bila engkau biarkan begitu saja, maka engkau dapat bersenang-senang dengannya, (tetapi hendaklah engkau ingat) ia adalah bengkok." (HR. Ahmad)

Nah, sekarang..
Silahkan anda mengorek memori anda tentang wanita pendamping hidup anda. Temukan berbagai kelebihan padanya. Dan selanjutnya tersenyumlah, karena ternyata istri anda memiliki banyak kelebihan.

Lalu, bila pada suatu hari anda merasa tergoda oleh kecantikan wanita lain, maka ketahuilah bahwa sesuatu yang dimiliki oleh wanita itu ternyata juga telah dimiliki oleh istri anda. Maka, bergegaslah untuk membuktikan hal ini pada istri anda. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,

"Bila engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu! Sesunggunya, istrimu memiliki seluruh hal yang dimiliki wanita yang engkau lihat itu." (HR. At-Tirmidzi)

Demikianlah caranya agar anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan hidup anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang anda tampak hijau, sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau.

Selamat berbahagia dengan pasangan hidup yang telah Allah karuniakan kepada anda. Semoga Allah memberkahi bahtera rumah tangga anda.

Sebaliknya, sebagai calon istri, anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, dan penuh perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya.

Betapa indahnya gambaran rumah tangga anda, dan betapa istimewanya pasangan hidup anda, andai gambarang anda ini dapat terwujud. Bukankah demikian saudariku?

Saudariku, setelah anda menikah, benarkah seluruh kriteria suami ideal yang pernah menghiasi lamunan anda ini terwujud pada pasangan hidup anda??

Bila benar terwujud, maka saya ucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat, dan bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati.

Besarkan hatimu, wahai saudariku! Percayalah, bahwa pada pasangan hidup anda ternyata banyak terdapay kelebihan.

Bila selama ini, saudari ciut hati karena suami anda miskin harta, maka tidak perlu khawatir karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab..

Bila selama ini saudari kecewa karena suami anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab.

Andai selama ini, saudari kurang puas karena suami anda kurang perhatian dengan urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar rumah.

Juga.. Andai selama ini sikap suami anda terhadap anda kurang simpatik, maka tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecewaan karena ia masih punya jasa baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata selama ini, suami anda telah menjaga kehormatan anda, menjadi penyebab anda merasakan kebahagiaan menimang putra-putri anda.

Saudariku, anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada diri suami anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya.

Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap suatu perangai suami anda dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah tangga anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di akhirat kelak.

Saudariku, simaklah peringatan Nabi shalallahu'alaihi wa sallam berikut ini. Agar anda dapat menjadjkan bahtera rumah tangga anda seindah dambaan anda.

"aku diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu kufur/ingkar."
Spontan, para shahabat bertanya, "Apakah yang engkau maksud adalah mereka yang kufur/ingkar kepada Allah?"
Beliau menjawab, "Mereka terbiasa ingkar terhadap perilaku baik, dan ingkar terhadap jasa baik. Andai engkau berbuat baik kepada mereka seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan suatu hal padamu, niscaya mereka begitu mudah berkata, 'Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikitpun darimu.' "
(Muttafaqun 'alaih)

Anda mendambakan kebahagiaan dalam rumah tangga?

Temukanlah bahwa Kebahagian hidup dan berumah tangga terletak pada genggaman tangan suami anda. Pandai-pandailah membawa diri, sehinnga suami anda rela membentangkan kedua telapak tangganya, dan
"Bila seorang istri telah mendirikan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, menjaga kesucian dirinya, dan taat kepada suaminya, niscaya kelak akan dikatakan kepadanya, 'Silahkan engkau masuk ke surga dari pintu mana pun yang engkau suka.' " (HR. Ahmad dan lainnya)

Tidakkah anda mendambakan termasuk orang-orang mukminah yang mendapatkan kebebasan masuk surga dari pintu mana pun?

Kunci Keberhasilan Rumah Tangga.

Saudaraku, mungkin selama ini anda bersama pasangan hidup anda, terus berusaha mencari pola rumah tangga yang dapat mendatangkan kebahagiaan untuk anda berdua.

Anda berhasil menemukannya??

Bila berhasil, maka saya ucapkan selamat berbahagia. Adapun bila belum, maka segera temukan kunci keberhasilan rumah tangga anda dalam firmah Allah berikut,

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya." (QS. Al Baqarah : 228)

Hak pasangan anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada anda. Semakin banyak anda menuntut hal anda, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus anda tunaikan untuknya.

Shahabat Abdullah bin 'Abbas memberikan contoh nyata dari aplikasi ayat ini dalam rumah tangganya. Pada suatu hari, beliau berkata, "Sesungguhnya, aku senang untuk berdandan demi istriku, sebagaimana aku pun senang bila istriku berdandan demiku, karena Allah ta'ala telah berfirman,
'Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.'
Aku pun tidak ingin menuntut seluruh hakku atas istriku, karena Allah juga telah berfirman,
'Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat dari pada istrinya.'
(HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabari)

Bagaimana dengan dirimu, wahai saudara dan saudariku? Kapankah anda berdandan? Ketika sedang berada di rumah atau ketika hendak keluar rumah? Selama ini, sejatinya, untuk siapa anda berdandan? Benarkah anda berdandan untuk pasangan anda, ataukah anda berdandan dan tampil menawan untuk orang lain?

Saudaraku, bahu-membahu, saling melengkapi kekurangan dan saling pengertian adalah salah satu prinsip dasar dalam membangun rumah tangga. Tidak layak bagi anda untuk berperan sebagai penonton setia ketika pasangan anda sedang mengerjakan pekerjaannya. Demikianlah, dahulu Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam mencontohkan dalam rumah tangga beliau.

Aisyah radhiyallahu 'anha mengisahkan,

"Dahulu Nabi shalallahu'alaihi wa sallam mengerjakan sebagian pekerjaan istrinya, dan bila beliau mendengar suara adzan dikumandangkan, maka beliau bergegas menuju ke masjid." (HR. Bukhari)

Constance Gager, ketua studi sekaligus asisten profesor di Montclair State University, Montclair, New Jersey, mengadakan penelitian tentang hubungan perilaku suami-istri dengan keromantisan dalam bercinta. Ia mengelompokkan para suami yang menjadi objek penelitiannya ke dalam dua kelompok.

Kelompok pertama adalah suami-suami yang tidak peduli dan jarang membantu pekerjaan istri. Kelompok kedua adalah suami-suami yang sering turur serta dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga istri.

Hasilnya luar biasa! Suami di kelompok kedua, yaitu yang sering membantu pekerjaan istrinya, terbukti lebih romantis dan lebih sering memadu cinta dengan pasangannya. Hubungan yang harmonis dan indah, begitu kental dalam rumah tangga mereka.

Sejatinya, penemuan ini bukanlah hal baru, karena secra logika, suami yang dengan rendah hati membantu pekerjaan istrinya Pastinya lebih dicintai oleh istrinya. Tentunya, ini memiliki hubungan erat dengan keromantisan suami-istri dalam bercinta.

Sebaliknya, istri yang peduli dengan pekerjaan suami, pun akan mengalami hal yang sama.

Nah, bagaimana dengan diri anda wahai saudaraku?

Selamat membuktikan resep manjur ini! Semoga berbahagia, dan hubungan anda berdua semakin romantis dan harmonis.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi anda. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallahu'alam bishowab.

Catatang kaki:
[1] Para ulam pensyarah hadist menjelaskan bahwa bubu daging adalah makanan paling istimewa di zaman Nabi shalallahu'alaihi wa sallam, terlebih-lebih bubur daging mudah pembuatannya dan selanjutnya mudah pula menelannya.

Penulis : Ust Arifin Badri, Lc, M.A

Sumber : di salin ulang oleh Ummu 'Aisyah dari kumpulan artikel sahabat muslimah 'Sebuah Awal Perjalanan Menuju Istana Cinta'.

Mohon maaf bila saya tidak menuliskan hadist dan ayat Al Qur'an dalam bahasa arab, dikarenakan saya menulisnya melalui mobile phone.
Semoga bermanfaat bagi kita semua. Baik sebagai pengingat untuk mereka yang sudah berumah tangga, atau sebagai pelajaran bagi kita yang akan berumah tangga. Allahu'alam.

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Orang-orang yang sudi memakan kotoran...

Bismillah..

Setiap manusia ketika menjumpai sesuatu yang menjijikan dan kotor pasti akan memalingkan mukanya dan menutup hidungnya, dia enggan untuk mendekatinya, wujud fisik kotoran saja walaupun tanpa menimbulkan bau sudah membuat manusia mual dan ingin muntah ketika melihatnya, apalagi ditambah dengan bebauan yang tidak sedap, sungguh kita semua pasti setuju untuk menghindar dari benda-benda seperti ini.

Manusia dilahirkan dengan fitrah untuk mencintai kebersihan dan memakan yang bersih-bersih, bahkan kita diwajibkan untuk menyucikan diri kita sebelum sholat dengan adanya perintah thoharoh (wudhu), bagi laki-laki disunnahkan untuk memakai wewangian ketika keluar dari rumahnya atau ketika menuju sholat jama'ah, garis besarnya bahwa adalah tabiat manusia untuk mencintai kebersihan dan keindahan.

Namun ada banyak sekali disekitar kita mereka yang tanpa sadar bergelimang dengan kotoran, disetiap sudut rumahnya, setiap hal yang dia kenakan dari pakaian dan perhiasannya, di setiap majelisnya dihidangkan kotoran yang teramat busuk dan menjijikkan, dan mereka juga tega menyuapkan kotoran kepada anak-anak mereka, mereka memberikan kotoran di dalam nafkah kepada keluarga mereka, na'udzubillahi min dzaaliik.

Lalu siapakah golongan mereka ini? Apakah kita telah termasuk menjadi salah satu dari golongan ini? Ada baiknya kita menyimak penjelasan di bawah ini.

Kaum yang enggan mengeluarkan zakat dari hartanya.

Zakat yang dikeluarkan dari harta seseorang adalah sebagai pembersih dari harta orang tersebut, dalil yang menyebutkan bahwa zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran adalah firman Allah Ta'ala :

"Hendaknya engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka." (QS At-Taubah : 103)

Oleh karena itulah zakat diharamkan untuk Bani Hasyim, yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh kerabatnya, baik yang fakir maupun yang miskin, sebagai amil zakat, muallaf atau yang lainnya. Karena zakat yang dikeluarkan membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa). Suatu hal yang membersihkan tentu saja akan bercampur dengan kotoran yang dibersihkan. Hal ini dijelaskan dalam hadits berikut :

"Rabi'ah bin al-Harits dan al-'Abbas bin 'Abdil Muththalib berkumpul. Keduanya mengutus al-Muththalib dan al-Fadhl bin 'Abbas untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar beliau mengangkat keduanya sebagai amil zakat, sehingga keduanya ikut mendapatkan bagian dari zakat sebagaimana yang lainnya. Tatkala keduanya menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya. Zakat itu hanyalah merupakan kotoran manusia.' Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan keduanya dan memerintahkan petugas al-khumus agar memberikan harta al-khumus kepada keduanya untuk mahar pernikahan." [Hadits al-Muththalib bin Rabi'ah bin al-Harits, HR. Muslim no. 1072, Bab Tarki Isti'mali Ali an-Nabi 'alash Shadaqah]

Namun sungguh kita banyak menemui di masa sekarang ini manusia telah lupa terhadap pembersihan kotoran dari harta-hartanya. Sudahkan kita meninghitung harta kita dan mengeluarkan hak-nya? Jika tidak maka harta kita telah bercampur dengan kotoran yang menjijikkan, dan setiap hari harta itu kita pergunakan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari serta kita nafkahkan kepada keluarga kita.

Seandainya harta yang kotor itu mengeluarkan bau maka berapa banyak manusia yang telah mencemari bumi ini dengan bau yang tidak sedap hasil dari kekikirannya untuk mengeluarkan zakat dari harta miliknya setiap tahunnya? Wahai kaum muslimin tidakkah engkau telah mendapati akibat dari perbuatanmu menahan zakat dari hartamu ini? Engkau telah membiarkan setiap hari dirimu dna keluargamu berkubang dengan kotoran di dunia ini, dan kelak di akhirat engkau menemui adzab yang teramat pedih. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"...Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS At-Taubah : 34-35)

"Yaknizuun" berasal dari kata "kanz" yang bermakna mengumpulkan, Ibnu Jarir rahimahullah berkata, "Kanz adalah segala sesuatu yang dikumpulkan , baik yang berasal dari dalam bumi maupun luarnya." "Yuhmaa" maknanya adalah neraka yang dipanaskan dengan panas yang tinggi. Ini adalah bacaan jumhur ahli qiraah. Adapun Ibnu 'Amir membacanya "Yuhma" [Lihat Fathul Qadir karya asy-Syaukani]

Al-'Allamah as-Sa'di rahimahullah menerangkan, "Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan pada dua ayat ini penyimpangan manusia dalam hal harta. " [Taisir al-Kariim ar-Rahman]

Sebagian ulama menyatakan bahwa kanz adalah semua harta yang wajib dizakati namun tidak dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Jabir, Ikrimah dan as-Suddi. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Harta apapun yang telah ditunaikan zakatnya tidak disebut kanz meskipun tertimbun di dalam bumi. Harta apapun yang tidak ditunaikan zakatnya, itu disebut kanz yang pemiliknya akan disetrika, meskipun harta itu tampak di atas bumi." [Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari]

Oleh karena itu wahai saudaraku kaum muslimin yang dimuliakan Allah Ta'ala, kembalilah untuk menghitung kembali harta-hartamu dan keluarkanlah apa yang telah menjadi hak-nya, janganlah engkau tahan dari harta itu walaupun itu satu rupiah sekalipun, janganlah engkau termasuk orang-orang yang memakan kotoran dan termasuk manusia yang tega menyuapkan kotoran kepada keluarganya sendiri.

Semoga catatan kecil ini mampu mengingatkan saudaraku semua dari kekhilafan dan bagi yang tidak memahami hukum zakat dari harta agar segera bertanya kepada yang memiliki ilmu agama, yang kemudian untuk segera membersihkan hartanya dari semua kotoran yang ada.

Wallahu a'lam bish showab

Oleh : Andi Abu Najwa
Diposting melalui Group Bengkel Akhlak Sunnah.

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Kamis, 29 Juli 2010

Agar Ta'aruf Tidak Berbuah Kecewa

Seringkali terjadi di kalangan ikhwan dan akhwat yang sudah siap untuk berumah tangga dan menjalani ta'aruf yang syar'i namun yang terjadi adalah sebuah kekecewaan dan kegagalan di masa ta'aruf. Hal ini terjadi karena kurangnya persiapan dan beberapa faktor eksternal yang kurang mendukung, seperti kurangnya info, tidak seriusnya perantara atau hal yang lainnya.

Diharapkan agar pihak-pihak yang bersangkutan dalam sebuah ta'aruf yang syar'i bagi calon pasangan suami istri (dari wali atau perantara) agar benar-benar memiliki itikad yang baik dan kuat dalam menyukseskan bursa perjodohan yang mereka selenggarakan, tidak perlu kampanye pasang baliho, spanduk dan promosi palsu.. Apalagi sampai masuk dalam kategori "money politic", untuk itu mari kita simak beberapa hal di bawah ini..

*Ikhlas karena Allah Subhanallahu wa ta'ala*

Pernikahan hendaknya diawali dengan niat yang tulus dan bagian dari ibadah kepada Allah Subhanallahu wa ta'ala, serta mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, karena yang demikian itu akan berakibat baik dan mendapatkan ridha dari Nya.

Allah Subhanallahu wa ta'ala berfirman : "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (Untuk menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan..."
(Q.S An-Nur : 32)

Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda :
"Wahai kaum muda! Barangsiapa diantara kalian telah mampu membiayai pernikahannya, hendaknya ia menikah! Karena ia akan lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan..."
(HR. Bukhari 5065, Muslim 1400)

Sehingga diharapkan buah dari keikhlasan ini akan mampu memberikan jalan yang lebih lapang dalam menyusun sebuah rumah tangga yang sakinah, tidak akan berakhir kecuali dengan kebaikan. Imam Ahmad dari Hadist Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, ia berkata :

"Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam meminang seorang gadis anshar kepada ayahnya untuk seorang laki-laki yang bernama Julaibib, ia bertubuh pendek dan berwajah buruk. Seolah-olah Al-Anshari (yakni ayah gadis itu) tidak menyukainya, maka si ayah berkata, 'Nanti aku akan bermusyawarah dulu dengan ibunya.' Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam berkata, 'Ya kalau begitu!' Maka ia pun mendatangi istrinya dan menyebutkan perkara itu kepadanya. Istrinya menentangnya dengan keras. Maka si gadis itu berkata setelah mendengar pembicaraan kedua orang tuanya, 'Apakah kalian ingin menolah perintah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam??' Kemudian gadis itu membaca firman Allah Subhanallahu wa ta'ala :

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (QS. Al Ahzab : 36)

Maka si gadis itu berkata, "Aku ridha dan menerima apa yang membuat ridha Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam." Maka Rasulullaha shalallahu'alaihi wa sallam pun berdo'a untuknya, "Ya Allah, curahkanlah kebaikan atasnya dan janganlah jadikan sempir kehiduapannya." Maka ia menjadi shahabat anshar yang paling banyak pendapatan dan hartanya. Anas berkata, 'Tidak ada janda yang lebih kaya dari pada dirinya.' Ia telah menjadi janda setelah Julaibin keluar bersama Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan.

*Jangan Memasang Target Terlalu Tinggi*

Akhi dan ukhti jangan memasang target sasaran calon suami atau calon istri yang terlalu tinggi, karena hal tersebut hanya akan menyakiti hati dan membuka pintu syaithan untuk merusak benih-benih pernikahan yang syar'i, selain itu dengan terlalu berlebihan dalam berangan-angan akan membuat pelakunya susah mendapatkan calon pendamping hidup yang sesuai dengan yang diharapkan.

Seyogyanya seorang muslim dan muslimah yang bertaqwa kepada Allah Subhanallahu wa ta'ala agar menentukan calon pasangan hidup yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, yakni mengedepankan ilmu agama yang dimilih oleh masing-masing calon pasangan hidup. Bukan hanya memperhatikan masalah fisik, jabatan atau harta seseorang saja, karena hal demikian justru akan membuat rusaknya angan-angan yang dibangun saat mengetahui bahwa fisik, jabatan dan harta tidak mampu mewujudkan kebahagiassn dalam rumah tangga.

Target pasangan hidup yang tinggi (masalah fisik, kedudukan, dan harta) tidak menjamin akan memberikan pasangan hidup yang ideal ketika tidak memiliki aqidah yang syar'i dan keshalihan akhlak, jadi diharapkan tidak ada akhwat atau ikhwan yang terlalu memprioritaskan proporsi fisikis calon pendampingnya kelak, semua itu adalah ciptaan Allah Subhanallahu wa ta'ala dan tidak layak kita merendahkan ciptaan Allah Subhanallahu wa ta'ala.

*Mencari Informasi Yang Akurat*

Agar pasangan yang akan menikah berusaha mengumpulkan informasi yang 'shahih', dengan cara yang sesuai syariat, yakni dengan menanyakan kepada keluarga yang bersangkutan atau perantara yang membantu ta'aruf tersebut. Hal ini tidak termasuk dalam hal ghibah (menggunjing) atau tajassus (mengorek informasi/memata-matai) yang dilarang, asalkan dengan maksud memberikan nasihat dan perhatian, bukan untuk menyakiti orang lain.

Pernikahan syar'i bukanlah hal 'membeli kucing dalam karung' sebagaimana yang sering dituduhkan oleh kalangan juhala (orang-orang yang jahil ilmu agamanya), sehingga mereka (juhala) menggunakan alasan ini untuk menghalalkan pacaran, padahal justru pernikahan yang syar'i mengandung nilai keadilan untuk mengetahui kondisi keadaan seorang wanita yang akan dipinang.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dia meminta pendapat beliau Shalallahu'alaihi wa sallam : "Adapun Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dipundaknya (suka memukul), sedangkan Mu'awiyah adalah seorang laki-laki yang fakir dan tidak memiliki harta. Nikahilah olehmu Usamah." (HR. Muslim 1480 , An Nasa'i 3245 dan Abu Dawud 2284)

Dalam hadist shahih di atas, seorang akhwat boleh memilih ikhwan yang akan dinikahkan dengannya sesuai dengan kondisi yang berkenaan dengan hatinya, tentunya dengan nasihat seseorang yang shalih yang mengetahui kondisi akhlak dan agama ikhwan yang bersangkutan. Perlu diperhatikan bahwa menyebutkan aib dan kekurangan yang bersangkutan hanya ketika diperlukan, namun jika tidak diperlukan maka tidak boleh menyebutkannya.

Diharapkan juga bagi seorang wali atay perantara dalam ta'aruf memberikan informasi yang sejujur-jujurnya karena Allah ta'ala, karena sekecil apapun kedustaan itu akan berakibat buruk di kemudian hari dan akan di catat sebagai dosa yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat.

Mendapatkan informasi yang benar juga agar seorang ikhwan tidak sampai meminang akhwat yang telah dipinang oleh ikhwan yang lain karena hal tersebut tidak halal baginya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam, "Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih di pinang oleh saudaranya sampai orang tersebut menikahinya atau meninggalkannya." (HR. Bukhari 5143, Muslim 1413)

*Terima Dia Apa Adanya*

Tidak semua yang datang kepada kita bisa sesuai dengan kehendak hati kita, ada saatnya apa yang kita dapatkan justru jauh di luar bayangan kita, maka terimalah dia calon pendampingmu apa adanya. Seorang akhwat biasanya ketika mencari calon pendamping kadang selalu mempertanyakan berapa penghasilan calon suami perbulannya.

Kasihan ikhwan, tidak mungkin ikhwan harus memasang tanda "akhwat matre dilarang ta'aruf" pada bajunya, fenomena "akhwat matre" juga kadang membuat bursa perjodohan makin carut marut, lebih susah diatur dari pada pengurusan bursa bupati atau lurah. Alasan mencari ikhwan yang 'sekufu' atau sekedar berangan-angan agar bisa hidup enak dan nyaman akan merusak suatu nilai pernikahan yang sesuai sunnah, bahkan sering terjadi saat ta'aruf berubag menjadi puncak kekecewaan setelah memupuk harapan dan bermain dengan angan-angan.

Maka terimalah dia pasanganmu apa adanya, (ada rumah, ada mobil, ada jabatang.... 'afwan terkadang plesetang ini muncul ketika perkataan apa adanya berubah menjadi sebaliknya pada kenyataannya, namun yang membuat akhwat kadang ambil langkah mundur ketika ada perkataan.. "ada istri pertama.." , "tak ingin aku dimadu..!" katanya).

Menerima calon pendamping dengan lapang dada dan apa adanya akan meringankan beban pikiran dan melegakan hati, juga memperkecil kemungkinan terbukanya pintu-pintu syaithan untuk menggagalkan ta'aruf yang sesuai syar'i, perlu diwaspadai bahwa syaithan tidak akan tinggal diam melihat seorang muslin yang berusaha ber'ittiba kepada Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam. Menerima apa adanya calon pasangan juga termasuk sunnah untuk menyegerakan menikah ketika yang bersangkutan sudah siap dan memenuhi syarat.

*Ada Prasangka Kuat bahwa Tawaran (Pinangan) nya akan di Terima*

Setelah melalui pemahaman dan menelaah informasi yang akurat dari wali akhwat atau perantara ikhwan yang bersangkutan kemudian masing-masing pihak dari calon suami dan calon istri yang akan nazhar memiliki kehendak yang kuat untuk menerima ikhwan atau akhwat setelah nazhar, maka dianjurkan untuk melanjutkan ta'aruf ini.

Namun jika setelah menerima informasi ada ganjalan dan sesuatu yang tidak disukai dari salah satu pihak yang nanti akan membuat sebuat ta'aruf berbuah kecewa lebih baik tidak usah nazhar dan tidak perlu diteruskan ta'arufnya, kecuali pihak yang keberatan telah menyatakan kerelaan dan ikhlas atas kekurangan calon pendamping hidupnya.

Dianjurkan juga bagi laki-laki yang berta'aruf dan wanita yang berta'aruf untuk beristikharah dalam masalah ini. Masing-masing dari keduanya beristikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah subhanallahu wa ta'ala tentang calon mempelai (saat ta'aruf), tentang waktu pernikahan dan yang lainnya.

Wallahu'alam bishowab.

Penulis : Andi Abu Najwa
Sumber : Bengkel Akhlak Sunnah dan saya salin ulang dari catatan 'Sebuah Awal Perjalanan Menuju Istana Cinta' milik seorang sahabat muslimah..

-Ummu 'Aisyah-

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Selasa, 27 Juli 2010

Biografi Imam Asy-Syafi'ie (150 H - 198 H)


Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie .

Demikian nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda.

Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.

Sang ibu sangat menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang bernama Syafi' bin As-Sa'ib.

Dan As-Sa'ib ayahnya Syafi', sempat tertawan dalam perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa'ib menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut:

Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' bin As-Sa'ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa', dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa'ib, ayahnya Syafi'. Kepada Syafi' bin As-Sa'ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:

"Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau." (HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66).

Di lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia terkenal sebagai anak muda yang ahli memanah. Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang ahli kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya.

Dokter itu menyatakan kepadanya : "Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak berdiri di bawah panas terik mata hari." Maka mulailah anak yatim ini mengurangi kegiatan panah memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab dan menekuni bait-bait sya'ir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya'irnya dalam usia kanak-kanak. Di samping itu dia juga menghafal Al-Qur'an, sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Qur'an keseluruhannya.

Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya'irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama' fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi', dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa'id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama' fiqih sebagaimana tersebut di atas. Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha' .

Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: "Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz." Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: "Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu." Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha' Imam Malik sehingga beliau menyatakan: "Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur'an, lebih dari kitab Al-Muwattha' ."

Beliau juga menyatakan: "Aku tidak membaca Al-Muwattha' Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku." Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama' yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa'ad, Isma'il bin Ja'far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya.

Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Ketika Muhammad bin Idris As-Syafi'i Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama' di jamannya dalam berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulama'nya. Disebutkanlah sederet Ulama' Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.

Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma'il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai membantah beberapa keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau untuk menimba ilmu.

Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis beliau untuk menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya'qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur'an adalah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za'farani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: "Aku pernah bertanya kepada ayahku: "Wahai ayah, siapa sesungguhnya As-Syafi`ie itu, karena aku terus-menerus mendengar ayah mendoakannya?" Maka ayahku menjawab: <Wahai anakku, sesungguhnya As-Syafi`ie itu adalah bagaikan matahari untuk dunia ini, dan ia juga sebagai kesejahteraan bagi sekalian manusia. Maka silakan engkau cari, adakah orang yang seperti beliau dalam dua fungsi ini (yakni fungsi sebagai matahari dan kesejahteraan) dan adakah pengganti fungsi beliau tersebut?." Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asy'ats menyatakan: "Aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya kepada As-Syafi`ie." Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan: "Aku tidak pernah meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir malam untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk As-Syafi`ie."

Diriwayatkan pula oleh Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): "Pernah ayahku berjalan di samping keledai yang ditumpangi Imam Syafi`ie untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Ma'ien sahabat ayahku mengirim orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan kepadanya: "Wahai Aba Abdillah ( kuniah bagi Imam Hanbali), mengapa engkau ridla untuk berjalan dengan keledainya As-Syafi`ie?". Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya: "Wahai Aba Zakaria ( kuniah bagi Yahya bin Ma'ien), seandainya engkau berjalan di sisi lain dari keledai itu, niscaya akan lebih bermanfaat bagimu."

Di samping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dengan sanadnya dari Abu Tsaur. Dia menceritakan: "Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada As-Syafi`ie, dan waktu itu As-Syafi`ie masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al Qur'an, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits, keterangan tentang kedudukan ijma' (kesepakatan Ulama') sebagai hujjah / dalil, keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang menghapus hukum lainnya) dan hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh hukum yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Maka As-Syafi`ie muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi. Begitu membaca kitab Ar-Risalah ini, Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada As-Syafi`ie sehingga beliau menyatakan: "Setiap aku shalat, aku selalu mendoakan As-Syafi`ie."

Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi`ie akhirnya menjadi kitab rujukan utama bagi para Ulama' dalam ilmu Ushul Fiqih sampai hari ini. Pujian para Ulama' dan kekaguman mereka bukan saja datang dari orang-orang yang seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi datang pula pujian itu dari para Ulama' yang menjadi guru beliau.

Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang guru beliau yang sangat dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat mengagumi Imam As-Syafi`ie, sampai diceritakan oleh Suwaid bin Saied sebagai berikut: "Aku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan bin Uyainah. As-Syafi`ie datang ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan salam dan langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati beliau saat mendengar hadits itu menyebabkan As-Syafi`ie mendadak pingsan. Orang-orang di majelis itu menyangka bahwa As-Syafi`ie meninggal dunia sehingga peristiwa ini dilaporkan kepada Sufyan: "Wahai Aba Muhammad (kuniah bagi Sufyan bin Uyainah), Muhammad bin Idris telah meninggal dunia". Maka Sufyan pun menyatakan: "Bila memang dia meninggal dunia, maka sungguh telah meninggal orang yang terbaik bagi ummat ini di jamannya."

Demikian pujian para Ulama' yang sebagiannya kami nukilkan dalam tulisan ini untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa beliau sangat tinggi kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman dengannya. Apalagi tentunya para ulama' yang sesudahnya.

Imam As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada th. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih.

Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma'rifatul Aatsar was Sunan . Al-Imam Abu Nu'aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu'aim tersebut kami nukilkan sebagai berikut :

Imam As-Syafi`ie menyatakan: "Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam ." (HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyahnya juz 9 hal. 109)

Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.

Imam As-Syafi`ie menyatakan: "Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam." (HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)

Beliau menyatakan juga: "Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan."

Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi' bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie berkata:
"Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir." (HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)

Diriwayatkan pula oleh Abu Nu'aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Dan memang para Ulama' Ahlis Sunnah wal Jama'ah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur'an itu makhluk.

Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang menyatakan: "Aku bertanya kepada As-Syafi`ie: "Bolehkah aku shalat di belakang imam yang Rafidli?" Maka beliau pun menjawabnya: "Jangan engkau shalat di belakang imam yang Rafidli, ataupun Qadari ataupun Murji'ie". Akupun bertanya lagi kepada beliau: "Terangkan kepadaku tentang siapakah masing-masing dari mereka itu? Maka beliau pun menjawab: "Barang siapa yang mengatakan bahwa iman itu hanya perkataan lisan dan hati belaka, maka dia itu adalah murji'ie; barangsiapa yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan Imamnya Muslimin, maka dia itu adalah rafidli. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kehendak berbuat itu sepenuhnya dari dirinya (yakni tidak meyakini bahwa kehendak berbuat itu diciptakan oleh Allah), maka dia itu adalah qadari"."

Demikian Imam As-Syafi`i mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bid'ah seperti yang disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syi'ah. Aliran Syiah terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran bid'ah lainnya seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang menolak beriman kepada rukun iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta`ala).

Juga aliran Murji'ah yang menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murji'ah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi Imam As-Syafi`ie untuk melarang orang shalat di belakang imam yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.

Imam As-Syafi`ie juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut:

Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: "Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie berkata: "Wahai Aba Abdillah (yakni Ahmad bin Hanbal), engkau lebih mengetahui hadits-hadits shahih dari kami. Maka bila ada hadits yang shahih, beritahukanlah kepadaku sehingga aku akan bermadzhab dengannya. Sama saja bagiku, apakah perawinya itu orang Kufah, ataukah orang Basrah, ataukah orang Syam."

Demikianlah para Ulama' bersikap tawadlu' sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu si murid.

Guru-guru utama Imam Asy Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah, dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie. Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie saat Imam Syafi'ie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di majelis itu sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun demikian, Imam Syafi`ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya.

Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas, menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits shahih itu berasal.

Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula : "Semua hadits yang dari Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku."

Demikian beliau memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.

P e n u t u p
Masih banyak mutiara hikmah yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari peri hidup Imam Asy-Syafi`ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara hikmah peri hidup beliau itu. Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah kitab-kitab tebal yang berisi untaian mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini.

Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus Syafi`ie , juga Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul Aadaabus Syaafi'ie . Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua menunjukkan kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita di barisan mereka di hari kiamat nanti. Amin ya Mujibas sa'ilin .


Sumber :
- Tarikh Baghdad , Al-Khatib Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 58 – 59, Darul Fikr – Beirut Libanon, tanpa tahun.
- Hilyatul Awliya' Wathabaqatul Asfiya' , Abu Nu'aim Al-Ashfahani, jilid 9 hal 65 – 66. Juga hal. 67, Darul Fikr, Beirut – Libanon, et. 1416 H / 1996 M.
- Tahdzibul Kamal jilid 24 hal. 358 – 360. Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, diterbitkan oleh Mu'assatur Risalah, cet. Pertama th. 1413 H / 1992 M.
- Tarikh Baghdad , Al-Khatib Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 60.
- Ibid, hal. 63.
- Hilyatul Awliya' , Al-Hafidh Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah Al-Asfahani, jilid 9 hal 70, Darul Fikr Beirut Libanon, cet. Th. 1416 H / 1996 M.
- Siar A'lamin Nubala' , Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 6 – 7, Mu'assasatur Risalah, cetakan ke 11 th. 1417 H / 1996 M.
- Tahdzibul Kamal fi Asma'ir Rijal , Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaluddin Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, jilid 24 hal. 271.
- Siar A'lamin Nubala' , Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 18. Juga Abu Nu'aim Al-Asfahani meriwayatkannya dalam Hilyatul Auliya' juz 9 hal. 95.
- Hilyatul Auliya' , Abu Nu'aim Al-Asfahani, jilid 9 hal 109 – 113.
- Siar A'lamin Nubala' , Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 31.
- Hilyatul Auliya' , Al-Hafidh Abu Nu'aim Al-Asfahani, jilid 9 hal. 170.
- Demikian diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib nya dan Ibnu Asakir dalam Tarikh nya dan dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Siar A'lamin Nubala' jilid 10 hal. 17.
- Diriwayatkan dalam Aadaabus Syafi`ie dan Al-Bidayah . Adz-Dzahabi menukilkan riwayat ini dalam Siar A'lamin Nubala' jilid 10 hal. 35.


Apakah Benar Roti Memicu Penyakit??

VIVAnews - Apakah Anda penggemar roti? Bagi yang gemar menyantapnya sebaiknya
waspada. Sebagai makanan berbahan utama gandum, roti mengandung gluten yaitu
protein lengket dan elastis yang bisa terdeteksi sebagai racun dalam tubuh.

Konsumsi gluten memang menimbulkan efek buruk pada beberapa orang yang sensitif.
Selain alergi, gluten juga bisa memicu penyakit celiac yang ditandai dengan
kerusakan usus halus sehingga terjadi gangguan penyerapan nutrisi yang masuk ke
dalam tubuh.

Gejalanya penyakit celiac antara lain diare, kram perut. Dalam jangka panjang,
bisa memicu kekurangan gizi, dan osteoporosis. Di Indonesia, penyakit tak
terlalu populer. Namun, penyakit ini cukup populer di sejumlah negara di Amerika
dan Eropa yang biasa menyantap roti sebagai makanan pokok.

Demi membuktikan efek buruk gluten, sejumlah ilmuwan asal Inggris dan Australia
melakukan penelitian terhadap 200 pasien yang diminta mengonsumsi sejumlah
makanan berbasis gandum seperti roti, dan muffin. Enam hari kemudian, peneliti
melakukan tes darah untuk melihat respons sistem kekebalan tubuh mereka.

Hasilnya, 90 dari 2.700 fragmen protein yang membentuk gluten terdeteksi sebagai
racun oleh tubuh. "Kupikir roti itu sehat, tapi ternyata justru meracuniku,"
ujar Dr Bob Alutenderson, salah seorang peneliti yang berbasis di Melbourne.

Selain makanan berbasis gandum seperti mi, pasta, dan biskuit, gluten juga
terkandung dalam beberapa jenis serealia lainnya seperti, jewawut (barley), rye,
dan juga oats.

Melihat efek buruknya, bukan berarti kita harus menghindari konsumsi makanan
mengandung gluten. Mereka yang tak memiliki sensitivitas dengan gluten tak perlu
khawatir mengonsumsinya. Sebab, di balik efek buruknya, serealia juga masih
mengandung banyak nutrisi penting seperti vitamin, mineral, dan antioksidan.
(pet)


http://id.news.yahoo.com/viva/20100723/tls-benarkah-roti-picu-gangguan-pencerna-34dae5e.html

Senin, 26 Juli 2010

HUKUM UPACARA PERINGATAN MALAM NISFU SYA'BAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://www.almanhaj.or.id/content/788/slash/0

Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.

Amma ba'du:

Sesungguhnya Allah telah berfirman:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama
bagimu." [Al-Maidah :3]

"Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih." [Asy-Syura' : 21]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dalam lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak."

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat."

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu'.

Dalam hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif" mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama' telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa':

"Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [An-Nisaa': 59]

"Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." [Asy-Syuraa: 10]

"Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya." [An-Nisaa' : 65]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur'an dan Hadits).

Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya'ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha' dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid'ah. Adapun pendapat ulama' ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:

[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya'ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid'ah." Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.

[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya'ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban ini,tidak diketahui."

Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya'ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya'ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza'iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:

"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak."

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya'ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.

Al-'Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, sebagai berikut: Hadits:

"Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya."

Hadits ini adalah maudhu', pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pergi ke Baqi' dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka'at dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu 'anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an di bawah:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu."[Al-Maidah : 3]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu." [Hadits Riwayat. Muslim]

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum'at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.

Tatkala Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

"Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat." [Muttafaqun 'alaih]

Jika seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya,
karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid'ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama' yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra' dan Mi'raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;

"Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid'ah-bid'ah."

Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid'ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Peringatan Bagi Orang yang Enggan Puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan "shaum". Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sebagaimana makna ini dapat kita lihat pada firman Allah Ta'ala,

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (QS. Maryam: 26).

Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.[1]

Puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/ perjalanan jauh)[2]. Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadhan adalah wajib adalah dalil Al Qur'an, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma' ulama)[3].

Di antara dalil dari Al Qur'an adalah firman Allah Ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al Baqarah : 183)

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

"Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan."[4]

Hal ini dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang badui ini datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,"Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا

"(Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa Ramadhan. Jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunnah (maka lakukanlah)."[5]

Wajibnya puasa ini juga sudah ma'lum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena ia bagian dari rukun Islam[6]. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.[7]

Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa

Pada zaman ini kita sering melihat sebagian di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban puasa yang agung ini. Bahkan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, ada yang mengaku muslim, namun tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa. Padahal mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang yang mampu untuk berpuasa.

Sebagai peringatan bagi saudara-saudaraku yang masih saja enggan untuk menahan lapar dan dahaga pada bulan yang diwajibkan puasa bagi mereka, kami bawakan sebuah kisah dari sahabat Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu 'anhu.

Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

بينا أنا نائم إذ أتاني رجلان ، فأخذا بضبعي، فأتيا بي جبلا وعرا ، فقالا : اصعد ، فقلت : إني لا أطيقه ، فقالا : إنا سنسهله لك ، فصعدت حتى إذا كنت في سواء الجبل إذا بأصوات شديدة ، قلت : ما هذه الأصوات ؟ قالوا : هذا عواء أهل النار ، ثم انطلق بي ، فإذا أنا بقوم معلقين بعراقيبهم ، مشققة أشداقهم ، تسيل أشداقهم دما قال : قلت : من هؤلاء ؟ قال : هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم

"Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, "Naiklah". Lalu kukatakan, "Sesungguhnya aku tidak mampu." Kemudian keduanya berkata,"Kami akan memudahkanmu". Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,"Suara apa itu?" Mereka menjawab,"Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka."

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,"Siapakah mereka itu?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya."[8]

Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku!

Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[9].

Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, "Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan."[10]

Adapun hadits,

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ

"Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya"; adalah hadits yang dho'if sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.[11]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1] Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah, 2/9904.

[2] Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 88.

[3] Al Mawsu'ah Al Fiqhiyah, 2/9904.

[4] HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, dari 'Abdullah bin 'Umar.

[5] HR. Bukhari no. 6956, dari Tholhah bin 'Ubaidillah.

[6] Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 318.

[7] Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 89.

[8] HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 7/263, Al Hakim 1/595 dalam mustadroknya. Adz Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim namun tidak dikeluarkan olehnya. Penulis kitab Shifat Shaum Nabi (hal. 25) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

[9] Demikianlah yang dijelaskan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam beberapa penjelasan beliau.

[10] Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/434, Mawqi' Ya'sub, Asy Syamilah

[11] HR. Abu Daud no. 2396, Tirmidzi no. 723, Ibnu Majah no. 1672, Ahmad 2/386. Hadits tersebut disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq (tanpa sanad) dalam kitab shahihnya dengan lafazh tamrid (tidak tegas) dari Abu Hurairah dan dikatakan marfu' (sampai pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam). Juga perkataan semacam ini dikatakan oleh Ibnu Mas'ud.

Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (6/183) mengatakan, "Kami tidak berpegang dengan hadits tersebut karena di dalamnya terdapat Abu Muthawwis yang tidak dikenal 'adl-nya (kesholihannya). Kami pun tidak berpegang dengan yang dho'if." Hadits ini juga dinilai dho'if oleh Ibnu 'Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut dho'if sebagaimana dalam Dho'if At Targhib wa At Tarhib no. 605.

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Selasa, 20 Juli 2010

Haji Bagi Wanita

WANITA TIDAK MEMPUNYAI MAHRAM PENDAMPING HAJI

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' ditanya : Seorang wanita shalihah setengah usia
atau mendekati tua di Saba' ingin haji dan tidak mempunyai mahram. Tapi di
daerahnya ada seorang lelaki yang shaleh yang ingin haji bersama beberapa wanita
dari mahramnya. Apakah wanita tersebut sah hajinya jika pergi bersama seorang
lelaki shaleh yang pergi bersama beberapa wanita mahramnya dan lelaki tersebut
sebagai pembimbingnya ? Ataukah dia gugur dari kewajiban haji karena tidak ada
mahram yang mendampingi padahal dia telah mampu dari sisi materi ? Mohon fatwa
tentang hal tersebut, sebab kami berselisih dengan sebagian kawan kami dalam hal
tersebut.

Jawaban
Wanita yang tidak mempunyai mahram yang mendampingi dalam haji maka dia tidak
wajib haji. Sebab mahram bagi seorang wanita merupakan bentuk kemampuan
melakukan perjalanan dalam haji. Sedangkan kemampuan melakukan perjalanan
merupakan syarat dalam haji. Allah berfirman.

"Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah" [Ali-Imran : 97]

Seorang wanita tidak boleh pergi haji atau lainnya kecuali bersama suami atau
mahramnya, sebagaimana Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak halal bagi wanita bepergian dalam perjalanan sehari semalam
melainkan bersama mahramnya" [Hadits Ruwayat Bukhari]

Imam Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas
Radhiallahu 'anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak boleh pria berduaan dengan wanita, keucali bila wanita itu
bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita berpergian melainkan bersama
mahramnya"

Maka seorang sahabat berdiri dan berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
istriku pergi haji dan aku berkewajiban dalam berperang demikian dan demikian"
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Pergi hajilah bersama istrimu" [Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim]

Demikian ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri, Al-Nakha'i, Ahmad, Ishaq, Ibnul
Mundzir dan Ahli Ra'yi (madzhab Hanafi). Dan pendapat ini adalah pendapat yang
shahih karena sesuai dengan keumuman hadits-hadits yang melarang wanita
bepergian tanpa suami atau mahramnya. Tapi pendapat tersebut berbeda dengan
pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i dan Al-Auza'i. Di mana masing-masing
menentukan syarat yang tidak dapat dijadikan hujjah.

Ibnul Mundzir berkata : "Mereka meninggalkan pendapat dengan lahirnya hadits dan
masing-masing dari mereka menentukan syarat yang tidak dapat dijadikan hujjah".

Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

WANITA PERGI HAJI SENDIRI TANPA MAHRAM

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita berkata, "Ibu
saya di Maroko dan saya bekerja di Saudi Arabia. Saya ingin mengirim surat agar
ibu datang untuk melaksanakan haji, tapi dia tidak mempunyai mahram karena bapak
telah meninggal dan saudara-saudara saya tidak mempunyai kemampuan melaksanakan
kewajiban haji. Bolehkah pergi haji sendiri tanpa disertai mahram ?"

Jawaban
Dia tidak boleh datang sendiri ke Saudi untuk haji. Sebab Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Wanita tidak boleh bepergian, kecuali bersama mahramnya" [Hadits
Riwayat Bukhari]

Demikian itu dikatakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyampaikan
khutbah kepada manusia. Maka seseorang berdiri dan berkata : "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya istriku pergi haji, dan aku berkewajiban dalam perang demikian dan
demikian". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Pergi hajilah bersama istrimu" [Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim]

Wanita yang tidak bersama mahramnya, maka haji tidak wajib atas dia. Adakalanya
kewajiban haji gugur darinya karena tiadanya kemampuan sampai ke Mekkah dan
tiadanya kemampuan adalah alasan syar'i, dan adakalanya dia tidak wajib
melaksanakannya. Artinya, jika dia meninggal, maka hajinya dapat digantikan oleh
ahli warisnya.

Saya ingin mengatakan kepada penanya, bahwa wanita tidak berdosa jika tidak haji
sebab tiadanya mahram. Dan demikian itu tidak mudharat kepadanya. Sebab dia
diamaafkan karena tiadanya kemampuan dalam tinjauan syar'i. Dimana Allah
berfirman.

"Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah" [Ali-Imran : 97]

WANITA INGIN HAJI TETAPI DILARANG SUAMINYA

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya seorang wanita tua dan
kaya. Saya telah menyampaikan niat saya untuk haji kepada suami saya lebih dari
satu kali, namun suami saya tidak memperbolehkan saya pergi haji tanpa alasan
yang jelas. Tetapi saya mempunyai kakak yang ingin haji. Apakah saya boleh haji
bersama kakak saya meskipun saya tidak diizinkan suami, ataukah saya tidak haji
dan tetap di negeri saya karena menta'ati suami ? Mohon penjelasan, semoga Allah
memberikan balasan yang baik kepada Anda.

Jawaban
Karena haji wajib dilaksanakan seketika jika telah memenuhi syarat-syaratnya.
Dan karena wanita penanya tersebut telah memenuhih syarat karena mendapatkan
kemampuan dan mahram, maka dia wajib segera haji dan suaminya haram melarangnya
tanpa alasan. Artinya, bahwa wanita penanya tersebut boleh haji bersama kakaknya
meskipun suaminya tidak menyetujuinya. Sebab haji sebagai kewajiban individu
seperti shalat dan puasa, dan hak Allah lebih utama untuk didahulukan, sedang
suami tidak mempunyai hak melarang istri dari melaksanakan kewajiban haji tanpa
alasan.

HUKUM HAJI BAGI WANITA YANG TIDAK DIIZINKAN SUAMINYA

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah sah hukumnya haji
wanita yang tidak dizinkan suaminya ? Apakah pemberian izin suami terhadap
istrinya untuk haji itu boleh di cabut ? Dan apakah suami boleh melarang istri
untuk melaksanakan haji .?

Jawaban
Suami tidak boleh melarang istrinya yang ingin melaksanakan haji wajib jika
telah memenuhi syarat-syarat kewajiban haji dan mendapatkan kemudahan
melaksanakan haji. Sebab haji sebagai kewajiban yang harus segera dilaksanakan
dan tidak boleh ditunda jika telah mempunyai kemampuan. Tapi istri disunnahkan
minta izin suami untuk hal tersebut. Jika suaminya tidak mengizinkan maka
istrinya boleh haji tanpa seizin suami. Dan jika suaminya telah mengizinkannya
maka suaminya tidak boleh mencabut izinnya. Adapaun haji sunnah maka suami boleh
melarang istrinya dan istri tidak boleh melakukan haji sunnah tanpa izin suami.
Wallahu a'lam.

MENGHAJIKAN WANITA YANG TIDAK MEMPUNYAI MAHRAM BERSAMA BEBERAPA ISTRINYA

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya : Saya haji bersama beberapa istri saya dan
ada seorang wanita tua yang tidak mempunyai mahram yang aku bantu sehingga dia
dapat melaksanakan haji bersama keluarga saya dan dia kembali ke negerinya
bersama istri-istri saya. Apakah saya berdosa dalam melakukan hal tersebut .?

Jawaban
Karena wanita tersebut telah lanjut usia dan penanya menyebutkan bahwa wanita
itu bersama beberapa istri dia sehingga wanita tua itu di antara mereka,
kemudian bergabungnya wanita tua tersebut karena tiadanya orang yang
melindunginya dan ketidaktahuannya tentang manasik haji, maka si penanya adalah
orang yang melakukan kebaikan dalam amalnya tersebut, dan tiada dosa bagi
orang-orang yang melakukan kebaikan.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada pemimpin kita Nabi Muhammad, juga
kepada keluarga dan sahabatnya.

MENGGUNAKAN TABLET PENCEGAH HAIDH DALAM HAJI

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum menggunakan tablet
untuk mencegah haidh selama dalam haji .?

Jawaban
Tidak mengapa melakukan hal tersebut karena terdapat manfaat dan maslahat
sehingga seorang wanita dapat thawaf bersama manusia dan tidak kesulitan dalam
menemaninya.

Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi
Arabia, penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam
Asy-Syafi'i hal. 45 - 50, penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc.

pernah di posting sebelumnya di
milist'>http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/3183?l=1">milist assunnah

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Hikmah dan Pentingnya Tidur Siang

Tidur adalah salah satu dari bukti kebesaran Sang Pencipta Tabaraka Wata'ala. Namun, mengapakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita untuk tidur sebentar di siang hari? Adakah hikmah secara ilmiyah yang terkandung dalam hal tersebut?

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkan kita untuk tidur sebentar di siang hari. Beliau bersabda :

"Lakukanlah Qailulah (tidur siang), karena sesungguhnya syetan itu tidak melakukan qailulah" (HR. Ath-Thabrani)

Penelitian ilmiyah yang baru telah menunjukkan bahwa tidur siangnya seseorang waktu kerja bisa mengurangi resiko masalah jantung yang berbahaya, dan mungkin fatal. Para peneliti mengatakan bahwa tidur siang (qailulah) di tempat kerja bermanfaat bagi jantung, karena bisa mengurangi stress dan goncangan jiwa, dimana pekerjaan adalah merupakan sumber utama stres.

Pada penelitian yang lain, para ilmuwan menekankan bahwa tidur siang sangatlah penting, agar seseorang bisa mengganti yang kurang dari tidur malamnya. Tidur malam tidaklah cukup dan terkadang bisa berbahaya kalau waktunya terlalu lama.

Oleh karena itu para dokter menyarankan untuk bangun malam disertai dengan melakukan sedikit kegiatan dan agar tidak tidur dengan waktu yang lama, karena itu bisa membahayakan jantung.

Marilah kita renungkan hikmah Nabi yang indah dalam hal tidur siang ini dan renungkanlah ayat yang mulia berikut ini yang telah mengabarkan kepada kita tentang bukti kebesaran Allah pada tidur di malam dan siang hari. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :

Yang artinya...

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan" (Ar-Ruum :23)

Wallahu A'lam

Dikutp dari http://www.artikelassunnah.blogspot.com/2010/07/hikmah-dan-pentingnya-tidur-siang.html

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®