Senin, 29 Maret 2010

AL-MA'TSUROT HASAN AL-BANA

Oleh Ustadz Abu Ahmad http://www.almanhaj.or.id/content/2064/slash/0

Kitab Al-Ma'tsurot oleh Hasan Al-Banna adalah kitab yang sangat populer di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan wirid-wirid yang terkandung di dalamnya dijadikan sebagai amalan harian wajib bagi para pengikut kelompok Ikhwanul Muslimin dan kebanyakan para aktivis pergerakan Islam di Indonesia.

Beberapa bulan yang lalu telah masuk kepada kami pertanyaan dari sebagian pembaca tentang kitab Al-Ma'tsurot ini, apakah kitab ini layak untuk diamalkan kandungannya, karena banyak dari kaum muslimin di daerahnya yang mengamalkan wirid-wirid dalam kitab ini.

Maka dengan memohon pertolongan kepada Alloh dalam pembahasan kali ini akan kami paparkan studi kelayakan kitab Al-Ma'tsurot ini untuk dipakai dan diamalkan kandungannya.

PENULIS KITAB AL-MA'TSUROT Penulisnya adalah Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrohman Al-Banna, pendiri jama'ah Ikhwanul Muslimin. Ia dilahirkan pada tahun 1906 M di Mahmudiyyah Buhairah Mesir, dan meninggal di Kairo Mesir tanggal12 Februari 1949 M.

Hasan Al-Banna adalah pengikut tarikat shufiyyah Hashshofiyyah sejak usia muda. Dia mengenal tarikat Hashshofiyyah semenjak duduk di Madrasah Mu'allimin UIa di Damanhur. Dia kemudian berbai'at di hadapan Mursyid Tarikat Hashshofiyyah, Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashshofi, dan kemudian aktif dalam kepengurusan Jam'iyyah Hashshofiyyah Al-Khoiriyyah.

Semasa hidupnya, Hasan Al-Banna selalu mengamalkan ritual-ritual tarikat Hashshofiyyah tersebut seperti Wadhifah (wirid) Rozuqiyyah tiap pagi dan petang. Nampaknya Wadhifah Rozuqiyyah ini adalah asal dari Wadhifah Kubro (nama lain dari Al-Ma'tsurot sebagaimana tertera dalam judul cetakannya).

Hasan Al-Banna tidak hanya mengamalkan Wadhifah Rozuqiyyah saja, bahkan dia juga mengikuti ritual Hashshofiyyah di kuburan-kuburan dengan cara menghadap kepada sebuah kuburan yang terbuka dengan tujuan untuk mengingat kematian, kemudian ritual Hadhroh setelah sholat Jum'at, dan ritual Maulid Nabi.

Abul Hasan An-Nadwi berkata: "Hasan Al-Banna selalu mengamalkan wirid-wirid dan ritual-ritual ini hingga akhir hayatnya." (Tafsir Siyasi lil Islam hal. 83).

Adapun dalam segi aqidahnya, Hasan Al-Banna adalah Asy'ari Mufawwidhoh sebagaimana nampak dalam kitabnya, Aqo'id. (Lihat Mudzakkirot Da'wah wa Da'iyyah, Nazhorot fi Manhaj Ikhwanul Muslimin dan Thoriqoh Hasan Al-Hanna wa Ashumul Waritsin )

WIRID-WIRID AL-MA'TSUROT YANG LEMAH ATAU TIDAK ADA ASALNYA

Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah wajib dilandaskan atas dalil yang tsabit (kuat) dan tidak boleh menetapkan suatu ibadah tanpa dalil atau dengan dalil yang dho'if (lemah). Maka tidak boleh seorang muslim mengamalkan suatu dzikir tertentu kecuali setelah meyakini bahwa dzikir tersebut dinukil dengan dalil yang tsabit dari Al-Qur'an dan as-Sunnah (Lihat bahasan Hadits Dho'if Dalam Fadho'il A'mal dalam Majalah Al-Furqon Edisi Spesial Ramadhan-Syawwal Tahun 6).

Setelah kami meneliti do'a-do'a dan dzikir-dzikir dalam kitab Al-Ma'tsurot ini ternyata ada beberapa dzikir yang lemah dalilnya atau bahkan tidak ada asalnya sama sekali, di antara do'a-doa dan dzikir-dzikir tersebut ialah:

[1]. Wirid Pertama. "Ashbahnaa wa asbaha al-mulku lillahi laa syariikalahu wa alhamdu kulluhu lillahi laa syarikalahu laa ilaha illa allahu wa ilaihi an-nusyuur"

"Artinya : Sesungguhnya kami terjaga di pagi hari dengan (kesadaran bahwa) / kerajaan (bumi dan segala isinya) ini seluruhnya adalah milik Alloh. Dan segala puji bagi Alloh, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Robb selain Dia dan kepada-Nya kami akan dibangkitkan."

Wirid ini datang dalam hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam Adabul Mufrod 1/211 no. 604 dan, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa Lailah hal. 74 dari jalan Abu Awanah dari Umar bin Abi Salamah dari bapaknya dari Abu Huroiroh Radhiyallahu'anhu.

Riwayat ini dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu : "Dho'if dengan lafazh ini, di dalam sanadnya terdapat Umar bin Abi Salamah Az-Zuhri Al-Qodhi, fihi dho'fun (padanya terdapat kelemahan)," ( Dho'if Adabul Mutrod hal. 60)

[2]. Wirid Kedua "Allahumma ma ashbaha bii min ni'mati faminka wahdaka laa syariika laka falaka alhamdu walaka asy-sukru"

"Artinya : Ya Alloh nikmat apapun yang kuperoleh dan diperoleh seseorang di antara makhluk-Mu adalah dari-Mu, yang Esa dan tak bersekutu, maka bagi-Mu segala puji dan syukur."

Wirid ini terdapat dalam hadits Abdulloh bin Ghonam Al-Bayadhi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/318, Ibnu Hibban dalam Shohih-nya 3/143, Nasa'i dalam Sunan Kubro 6/5, Abu Bakar Asy-Syaibani dalam Ahad wal Matsani 4/183, dan Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/89 dari jalan Rabi'ah bin Abi Abdirrohman dari Abdulloh bin Anbasah dari Abdulloh bin Ghonam Al-Bayadhi.

Abdulloh bin Anbasah dikatakan oleh Adz-Dzahabi rahimahullahu : hampir-hampir tidak dikenal)."

Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Kalimu Thoyyib hal. 73 dan Dho'if Jami' Shoghir: 5730.

[3]. Wirid Ketiga. "Yaa rabbi laka alhamdu kamaa yanbagii lijalaali wajhika wali'adhiimi sulthoonika"

Wirid ini terdapat dalam hadits Abdulloh bin Umar Radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1249, Thobroni dalam Mu'jam Ausath 9/101 dan Mu'jam Kabir 12/343, dan Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/94 dari jalan Shodaqoh bin Basyir dari Qudamah bin Ibrohim Al-Jumahi dari Abdulloh bin Umar Radhiyallahu'anhu.

AI-Bushiri rahimahullahu berkata: "Sanad ini, terdapat kritikan padanya." (Mishbahu Zujajah 4/130)

Shodaqoh bin Basyir dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Taqrib: "Maqbul (yaitu diterima haditsnya jika ada penguatnya, kalau tidak ada penguatnya maka haditsnya lemah)."

Qudamah bin Ibrohim dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Taqrib: "Maqbul."

Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dho'if Sunan Ibnu Majah hal. 308 dan Dho'if Jami' Shoghir: 1877.

[4]. Wirid Keempat "Allahumma sholli 'alaa muhammadin 'abdika wanabiyyika warosuulika an-nabiyyi al-ummii wa 'alaa aalihi washohbihi wasallim tatsliimaa 'adada ma ahaatho bihi 'ilmuka wakhoththo bihi qolamuka wa ahshoohu kitaabuka' "

"Artinya : Ya Alloh limpahkanlah sholawat atas junjungan kami Muhammad hamba-Mu, nabi-Mu, dan rosul-Mu, nabi yang ummi, dan atas keluarganya; dan limpahkanlah salam sebanyak yang diliput oleh ilmu-Mu dan dituliskan oleh pena-Mu, dan dirangkum oleh kitab-Mu "

Sholawat ini adalah sholawat yang bid'ah yang tidak ada asalnya, tidak ada di dalam kitab-kitab hadits yang mu'tabar sepanjang penelitian kami.

Wirid-wirid di atas (1 s/d 4) adalah yang lemah atau tidak ada asalnya. Di samping itu, di dalam kitab Al-Ma'tsurot ini banyak wirid-wirid lain yang shohih lafazhnya tetapi bid'ah dari segi kaifiyyat (tatacara)nya karena memberikan bilangan bacaan-bacaannya yang tidak pernah ada tuntunannya dari Rosululloh Shollallahu 'alaihi wa sallam .

DO'A ROBITHOH YANG BID'AH

Pada akhir kitab Al-Ma'tsurot ini tercantum Do'a Robithoh yang berbunyi: "Allahumma innaka ta'lamu anna hadihi al-quluuba qodijtama'at 'alaa mahabbatika waltaqot 'alaa thoo 'atika watawahhadat 'alaa da'watika wa ta'aahadat 'alaa nushroti syarii'atika fawassiq allahumma roobithhaa wa adim wuddahaa"

"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah (kecintaan) hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di (jalan)-Mu, dan berjanji selia untuk membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya Ya Alloh, abadikan kasih sayangnya"

Syaikh Ihsan bin Ayisy Al-Utaibi rahimahullahu berkata: "Di akhir Al-Ma'tsurot terdapat wirid robithoh, ini adalah bid'ah shufiyyah yang diambil oleh Hasan Al-Banna dari tarikatnya, Hashshofiyyah." .(Kitab TarbiyatuI Aulad fil Islam Ii Abdulloh Ulwan fi Mizani Naqd Ilmi hal. 126)

HUKUM WIRID-WIRID BID'AH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: "Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling afdhol (utama), dan ibadah dilandaskan alas tauqif dan ittiba', bukan atas hawa nafsu dan ibtida ', Maka do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah yang paling utarna untuk diamalkan oleh seorang yang hendak berdzikir dan berdo'a. Orang yang mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang berada di jalan yang aman dan selamat. Faedah dari hasil yang didapatkan dari mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'Alaihi wa sallam begitu banyak sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Adapun dzikir-dzikir dari selain Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam , kadang-kadang diharomkan, kadang-kadang makruh, dan kadang-kadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun membuat bagi manusia dzikir-dzikir dan do'a-do'a yang tidak disunnahkan, serta menjadikan dzikir-dzikir tersebut sebagi ibadah rutin seperti sholat lima waktu, bahkan ini termasuk agama bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah. Adapun menjadikan wirid yang tidak syar'I maka ini adalah hal yang terlarang, bersamaan dengan ini dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'I sudah memenuhi puncak dan akhir dari tujuan yang mulia, tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang bid'ah melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau melampaui batas." (Majmu' Fatawa 22/510-511).

Beliau juga berkata: "Seseorang yang berpaling dari do'a yang syar'i kepada yang lainnya -walaupun itu adalah hizb-hizb- (wirid-wirid) sebagian masyayikh (para syaikh)- maka yang paling bagus baginya adalah hendaknya tidak meluputkan bagi dirinya do'a yang lebih afdhol dan yang lebih sempurna, yaitu do'a-do'a Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, karena dia yang lebih afdhol dan lebih sempurna dari do'a-do'a yang lainnya dengan kesepakatan kaum muslimin, meskipun do'a-do'a yang lain tersebut diucapkan oleh sebagian masyayikh, apalagi jika do'a-do'a tersebut di dalamnya terdapat kesalahan atau dosa atau yang lainnya?

Di antara orang-orang yang paling tercela adalah orang yang menjadikan hizb (wirid) yang tidak ma'tsur (dinukil) dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam -walaupun itu adalah hizb-hizb sebagian masyayikh dan meninggalkan hizb-hizb Nabawiyyah yang diucapkan oleh Penghulu Bani Adam, Imam para makhluk, dan hujjah Alloh atas para hamba-Nya," (Majmu'Fatawa 22/525)

BADAL (PENGGANTI) KITAB INI

Setelah melihat banyaknya hal-hal yang bid'ah dalam kitab Al-Ma'tsurot ini, kami memandang bahwa kitab ini tidak layak dijadikan pegangan di dalam wirid-wirid keseharian seorang muslim. Kami menganjurkan agar saudara-saudaraku kaum muslimin memilih kitab-kitab dzikir lainnya yang mengacu kepada do'a dan dzikir yang shohih dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, di antara kitab-kitab yang kami anjurkan untuk dipakai adalah:

[1]. AI-Adzkar oleh AI-Imam, An-Nawawi bersama penjelasan derajat haditsnya dalam kitab Shohih wa Dho'if AI-Adzkar oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilali. [2]. Al-Kalimu Thoyyib oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan takhrij Syaikh Al-Albani. [3]. Tuhfatul Akhyar oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. [4]. Shohih Kalimu Thoyyib oleh Syaikh Al-Albani. [5]. Hishnul Muslim oleh Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qohthoni, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 06 Tahun VI/Robi'ul Awwal 1428H [Februari 2007], Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma'had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma'had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153]

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Fatwa Syaikh bin Baaz Tentang Larangan Saling Mencaci

Bismillah..

Fatwa ini dikeluarkan akibat munculnya kelompok dakwah garis keras yang terkenal mudah mengeluarkan cacian dan makian terhadap para tokoh dakwah di dunia Islam. Tentunya fatwa ini berlaku umum kepada siapa saja yang memiliki karakter tercela seperti penjelasan Syaikh bin Baaz.

Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Riset Ilmiah, Fatwa, Dahwa dan Bimbingan Islam Kerajaan Saudi Arabia, tanggal 17/6/1414 H, Syaikh Abdulazis bin Abdullah bin Baaz (meninggal pada bulan Mei 1999) mengatakan :

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan mereka yang mengikutinya sampai akhir zaman.

Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kita untuk berlaku adil dan berbuat baik, serta meninggalkan segala bentuk penganiayaan, kesewenangan dan permusuhan. Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW dengan risalah yang juga telah diemban oleh para Rasul sebelumnya, berupa seruan untuk bertauhid dan memurnikan ibadah kepada Allah SWT semata. Allah juga memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menegakkan keadilan dan melarangnya dari segala bentuk ketidakadilan; baik berupa penyembahan selain Allah, atau perpecahan, perselisihan dan penganiayaan atas hak-hak orang lain.

Akhir-akhir ini, telah menjadi wacana publik bahwa ada sekelompok orang yang dikenal sering bergelut dengan masalah-masalah keilmuan Islam dan dakwah, melecehkan kehormatan saudara-saudara mereka dari kalangan aktivis dakwah Islam terkemuka. Mereka juga melecehkan kehormatan para penuntut ilmu, para da'i dan para penceramah. Kadang mereka melakukannya secara tersembunyi di tempat-tempat pengajian mereka atau direkam di kaset-kaset dan disebarkan di tengah-tengah masyarakat. Dan kadang pula hal itu dilakukan secara terang-terangan dalam pengajian-pengajian umum di masjid-masjid. Perbuatan ini sangat bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah SWT kepada Rasul-Nya.

Lebih jelasnya pertentangan itu dapat dilihat dari berbagi sisi sebagai berikut :

1. Perbuatan ini adalah bentuk penganiayaan terhadap hak-hak umat Islam. Apatah lagi bila mereka yang dilecehkan tersebut adalah para penuntut ilmu dan para da'i yang telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk membangun kesadaran beragama masyarakat, membimbing mereka, serta memperbaiki kekeliruan-kekeliruan pemahaman mereka tentang akidah dan system hidup. Dan mereka pulalah yang telah bekerja keras untuk mengorganisir pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah agama, serta menulis buku-buku yang bermanfaat.

2. Perbuatan ini adalah upaya pemecahbelah persatuan umat Islam dan pengoyakan barisan mereka. Sementara mereka sangat membutuhkan adanya persatuan dan tiadanya perpecahan, perselisihan dan perdebatan yang sia-sia di antara mereka. Apatah lagi bila para da'i yang dilecehkan tersebut berasal dari kalangan ahlu sunnah wal jamaah yang terkenal dengan kerja nyata mereka dalam memerangi bid'ah dan khurafat, menentang para penyerunya, serta menyingkap makar dan tipu daya mereka. Kami memandang bahwa tidak ada sedikit pun maslahat dibalik perbuatan ini kecuali bagi musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafiq, atau ahli bid'ah dan kesesatan yang sangat mengidam-idamkan kehancuran umat Islam.

3. Perbuatan ini mengandung dukungan dan dorongan kepada para sekularis, westernis dan musuh-musuh Islam lainnya yang terkenal sebagi kelompok-kelompok yang selalu melecehkan, menyebarkan isu-isu bohong dan menghasut masyarakat untuk memusuhi para aktivis dakwah Islam lewat buku-buku dan kaset mereka. Adalah bertentangan dengan konsekwensi ukhuwwah Islamiyah ketika orang-orang yang tergesa-gesa ini mendukung musuh-musuh mereka menghadapi saudara-saudara mereka sendiri dari kalangan para penuntut ilmu dan para aktivis dakwah Islam.

4. Perbuatan ini sangat berandil besar dalam merusak hati dan perasaan seluruh lapisan masyarakat, menyebar luaskan berbagai kebohongan dan isu-isu dusta, menjadi sebab maraknya gunjing menggunjing dan adu domba serta membuka pintu selebar-lebarnya bagi manusia-manusia berjiwa kerdil yang hobinya menyebarkan isu-isu negatif, menguakan simpul-simpul fitnah dan selalu ingin menyakit orang-orang beriman dengan dalil dan alasan yang dibuat-buat.

5. Banyak sekali pernyataan-pernyatan yang dimunculkan itu, tidak benar adanya sebaiknya, pernyatan-pernyataan tersebut hanyalah paraduga-praduga atau sangkaan sangkaan yang dihias hiasi oleh syetan kepada mereka yang termakan oleh tipu dayanya. Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian orang diantara kamu menggunjing sebagian yang lain" (Al Hujuraat : 12)

Seorang muslim sebaiknya berusaha memahami perkataan saudaranya sesama muslim dengan penafsiran yang paling baik. Sebagian ulama salaf pernah berkata: "janganlah berprasangka buruk tentang sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh saudaramu sesama muslim, sementara engkau dapat memahaminya dengan penafsiran yang baik".

6. Ijtihad yang dilakukan oleh seorang ulama atau penuntut ilmu yang layak ijtihad pada masalah-masalah ijtihadiyah tidak boleh diingkari dan ditentang. Bila ada yang berbeda pendapat dengannya pada masalah-masalah tersebut, maka yang lebih tepat dilakukan adalah mengajaknya berdiskusi (berdebat) dengan cara yang paling baik, demi mencapai kebenaran dengan mudah dan menutup jalan bagi bisikan-bisikan syetan berikut tipu dayanya untuk memecah-belah persatuan umat Islam. Tapi bila itu sulit dilakukan, sedang orang yang berbeda pendapat tersebut ingin menjelaskan kesalahan ijtihad ulama' atau penuntut ilmu yang lain, maka hendaklah itu dilakukan dengan ungkapan yang baik, sindirian yang lembut dan tanpa pelecehan, pencelaan atau kata-kata kasar yang bias menyebabkan penolakan terhadap kebenaran, serta tanpa tudingan terhadap pribadi-pribadi, tuduhan terhadap niat-niat orang lain, atau pembicaraan berlebihan yang tidak dibutuhkan. Bukankah dalam hal-hal seperti ini Rasulullah SAW selalu berkata : "mengapa ada orang-orang yang mengatakan begini dan begitu?"

Maka yang ingin aku nasehatkan kepada ikhwah (saudara-saudaraku) yang melecehkan kehormatan para da'i dan menghina mereka, supaya bertobat kepada Allah SWT dari apa-apa yang pernah dituliskan oleh tangan-tangan mereka atau diucapkan oleh lidah-lidah mereka yang telah ikut andil dalam merusak hati dan perasaan sebagian pemuda Islam, memenuhinya dengan rasa iri dan dengki, menyibukkan mereka dengan gunjing-menggunjing, membahas tentang fulan dan fulan, memaksakan diri untuk mencari-cari kesalahan orang lain yang akhirnya memalingkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan berdakwah di jalan Allah SWT.

Aku juga menasehati mereka agar menebus (kaffarah) kesalahan yang mereka lakukan dengan cara menulis atau lainnya, untuk membebaskan diri mereka dari perbuatan seperti ini dan menghilangkan pemikiran-pemikiran salah yang telah tertanam dibenak sebagian orang yang sering mendengarkan pembicaraan mereka, berikut mengalihkan perhatian mereka kepada amal-amal produktif yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT dan bermanfaat bagi hamba-hambaNya. Aku juga menasehati mereka agar berhati-hati untuk tidak tergesa-gesa dalam menyebutkan hukum kafir, fasik atau bid'ah kepada orang lain tanpa bukti dan kejelasan, karena Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa yang berkata kepada saudaranya sesama muslim wahai kafir maka makna kata itu pasti berlaku bagi salah seorang di antara mereka berdua" (Mutafaqun 'ala shihatihi).

Secara syar'i adalah tepat bagi para dai dan penuntut ilmu yang menemukan kesulitan dalam memahami perkataan sebagian ulama ataupun selain ulama, untuk merujuk dan bertanya kepada para ulama yang berkompeten agar mereka mendapatkan penjelasan yang gambling, memahami subtansi masalah dan menghilangkan segala keragu-raguan dan subhat yang ada pada diri mereka, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinnya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syetan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)" (Annisa' : 83)

Semoga Allah SWT -yang hanya kepadaNya kita meminta- memperbaiki keadaan umat Islam seluruhnya, menyatukan hati-hati mereka dan memberikan taufiq-Nya kepada para ulam dan para dai untuk selalu melakukan hal-hal yang diridloinya, bermanfaat bagi hamba-hambaNya, menyatukan konsep mereka di atas petunjukNya, menghindarkan mereka dari pemicu-pemicu perpecahan dan pertentangan, serta menjadikan mereka sebagai pembela kebenaran dan pemberantas kebatilan. Sesungguhnya hanya Allah SWT yang sanggup dan mampu melakukannya.

Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baaz

Ketua Umum Dewan Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan Islam Kerajaan Saudi Arabiyah

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Senin, 22 Maret 2010

Bangunlah, Wahai Abu Turab!

Bismillah..

Dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu, dia berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke rumah Fathimah -putri beliau- radhiyallahu'anha namun beliau tidak menemukan Ali -suami Fathimah- ada di rumah. Maka beliau berkata, "Dimana putra pamanmu?". Fathimah menjawab, "Ada sesuatu antara aku dengannya sehingga dia pun memarahiku lalu dia keluar rumah dan tidak tidur siang di sisiku." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas mengatakan kepada seseorang, "Lihatlah, dimana dia berada." Kemudian orang itu kembali dan melaporkan, "Wahai Rasulullah, dia berada di masjid, sedang tidur." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya dalam keadaan sedang berbaring sementara kain selendangnya lepas dari bahunya -sehingga tampaklah bahunya- dan terkena terpaan debu/tanah (turab, bhs arab). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mulai mengusap debu dari tubuhnya seraya berkata, "Bangunlah wahai Abu Turab, bangunlah wahai Abu Turab." (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Fath al-Bari [1/627] dan Syarh Muslim [8/34])

Hadits yang agung ini menyimpan mutiara hikmah, antara lain:

1.Bolehnya menyebut putra paman (saudara sepupu) kepada kerabat ayah. Karena Ali bin Abi Thalib adalah putra dari paman Nabi -yaitu Abu Thalib- dan bukan putra dari paman Fathimah (lihat Fath al-Bari [1/627])

2. Arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -sebagai seorang bapak- kepada Fathimah -putrinya- agar berbicara dengan suaminya menggunakan sebutan itu. Karena di dalam sebutan tersebut terdapat unsur kelemahlembutan dan jalinan kedekatan yang timbul karena ikatan tali kekerabatan. Seolah-olah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memahami apa yang ketika itu tengah terjadi di antara putrinya dengan sang suami -yaitu Ali bin Abi Thalib-. Dengan ungkapan itu beliau ingin agar putrinya bersikap lembut dan perhatian (tidak bersikap cuek/masa bodoh) terhadap suaminya (lihat Fath al-Bari [1/627])

3. Tidur siang merupakan kebiasaan para salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahl bin Sa'd radhiyalahu'anhu, "Dahulu kami sering tidur siang -sebelum waktu zuhur- dan baru menikmati santap siang setelah sholat Jum'at." (HR. Bukhari). Adapun hadits riwayat at-Thabrani yang bunyinya, "Tidurlah siang, karena sesungguhnya syaitan tidak tidur siang." maka al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Di dalam sanadnya terdapat Katsir bin Marwan, sedangkan dia ini matruk/haditsnya ditinggalkan." (lihat Fath al-Bari [11/79]). Yang dimaksud dengan 'qoilulah' (tidur siang) adalah tidur di pertengahan hari (lihat Syarh Muslim [8/34]). al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Qailulah adalah tidur di tengah siang, yaitu ketika matahari tergelincir ke barat, dan beberapa saat sebelum atau sesudahnya." (Fath al-Bari [11/79]).

4. Boleh tidur siang di masjid, meskipun orang tersebut memiliki kamar tidur di rumahnya dan meskipun hal itu -tidur di sana- bukan merupakan suatu keperluan yang mendesak baginya (lihat Fath al-Bari [1/627] dan [11/79-80]).

5. Hadits ini juga dijadikan dalil yang menunjukkan bolehnya kaum lelaki tidur di masjid -meskipun di malam hari-, sebagaimana diungkapkan oleh al-Bukhari dan an-Nawawi (lihat Syarh Muslim [8/34] dan Fath al-Bari [1/626]. Hal itu -bolehnya sering tidur di masjid- berlaku terutama bagi orang yang belum punya tempat tinggal yang menetap, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, bahwa beliau bersama dengan seorang pemuda lajang yang belum berkeluarga biasa tidur di masjid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat Fath al-Bari [1/627])

6. Hendaknya mengatasi kemarahan yang timbul -seperti yang sering terjadi dalam rumah tangga, antara suami dengan istri- dengan cara yang tidak membangkitkan kemarahan pula, dan semestinya berusaha menempuh cara agar kemarahan tersebut menjadi reda dan suasana menjadi cair (lihat Fath al-Bari [1/627])

7. Boleh memberi nama kun-yah (panggilan dengan Abu atau Ummu) kepada seseorang -ataupun untuk diri sendiri- bukan dengan menggunakan nama anaknya, sebagaimana halnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu yang disebut oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Abu Turab/bapaknya tanah (lihat Fath al-Bari [1/627])

Selengkapnya silahkan buka: www.abumushlih.com

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Minggu, 21 Maret 2010

Obat Penenang Jiwa?

Bismillah.. Segala puji untuk Allah, Yang telah menurunkan al-Qur'an sebagai petunjuk dan obat bagi hamba-hamba yang beriman. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Imam orang-orang yang bertakwa, yang telah menguraikan ayat-ayat-Nya kepada segenap umatnya. Amma ba'du.

Saudaraku, sudah menjadi tabiat manusia bahwa mereka menyukai sesuatu yang bisa menyenangkan hati dan menentramkan jiwa mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci oleh Allah demi mencapai keinginan mereka.

Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau tindak kriminal. Apabila permasalahan ini kita cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.

Padahal, Allah ta'ala telah mengingatkan hal ini dalam ayat (yang artinya), "Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram." (QS. ar-Ra'd: 28). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat terpilih mengenai makna 'mengingat Allah' di sini adalah mengingat al-Qur'an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan al-Qur'an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, "Dzikir merupakan sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang mengerti." Demikian juga Malik bin Dinar mengatakan, "Tidaklah orang-orang yang merasakan kelezatan bisa merasakan sebagaimana kelezatan yang diraih dengan mengingat Allah." (lihat Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 562). Sekarang, yang menjadi pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara kita yang tidak bisa merasakan kelezatan berdzikir sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama salaf. Sehingga kita lebih menyukai menonton sepakbola daripada ikut pengajian, atau lebih suka menikmati telenovela daripada merenungkan ayat-ayat-Nya, atau lebih suka berkunjung ke lokasi wisata daripada memakmurkan rumah-Nya.

Perhatikanlah ucapan Rabi' bin Anas berikut ini, mungkin kita akan bisa menemukan jawabannya. Rabi' bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari sebagian sahabatnya, "Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya, karena sesungguhnya tidaklah kamu mencintai apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak menyebutnya." (lihat Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 559). Ini artinya, semakin lemah rasa cinta kepada Allah dalam diri seseorang, maka semakin sedikit pula 'kemampuannya' untuk bisa mengingat Allah ta'ala. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan kondisi batin kita yang begitu memprihatinkan, walaupun kondisi lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai, betapa sedikit orang yang memperhatikannya! Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan menipis dalam diri kita; yaitu rasa cinta kepada Allah...

Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya." (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Kalau demikian keadaannya, maka solusi untuk bisa menggapai ketenangan jiwa melalui dzikir adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan rasa cinta kepada Allah. Dan satu-satunya jalan untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan memperhatikan kebesaran ayat-ayat-Nya, yang tertera di dalam al-Qur'an ataupun yang berwujud makhluk ciptaan-Nya. Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, "Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu merupakan cabang dari pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang mengenal Allah pastilah akan mencintai-Nya. Dan tidak ada jalan untuk menggapai ma'rifat ini kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh ma'rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah..." (Mu'taqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Tauhid al-Asma' wa as-Shifat, hal. 16)

Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi dengan kenikmatan dan ketentraman apabila hati tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya (lihat Mu'taqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Tauhid al-Asma' wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain, kelezatan di akherat yang diperoleh seorang hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya. Sementara hal itu tidak akan bisa diperolehnya kecuali setelah merasakan kelezatan paling agung di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan surga dunia yang akan senantiasa menyejukkan hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 261)

Banyak orang yang tertipu oleh dunia dengan segala kesenangan yang ditawarkannya sehingga hal itu melupakan mereka dari mengingat Rabb yang menganugerahkan nikmat kepada mereka. Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia telah meresap ke dalam relung-relung hatinya. Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi sedikit luntur dan lenyap. Terlebih lagi 'didukung' suasana sekitar yang jauh dari siraman petunjuk al-Qur'an, patah lagi pengenalan terhadap keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka semakin jauhlah sosok seorang hamba yang lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Sholat terasa hampa, berdzikir tinggal gerakan lidah tanpa makna, dan al-Qur'an pun teronggok berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai saudaraku... apakah yang kau cari dalam hidup ini? Kalau engkau mencari kebahagiaan, maka ingatlah bahwa kebahagiaan yang sejati tidak akan pernah didapatkan kecuali bersama-Nya dan dengan senantiasa mengingat-Nya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), "Akan tetapi ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih kekal." (QS. al-A'la: 16-17). Allah juga berfirman mengenai seruan seorang rasul yang sangat menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang artinya), "Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk. Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (yang semu), dan sesungguhnya akherat itulah tempat menetap yang sebenarnya." (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 260)

Apabila engkau menangis karena ludesnya hartamu, atau karena hilangnya jabatanmu, atau karena orang yang pergi meninggalkanmu, maka sekaranglah saatnya engkau menangisi rusaknya hatimu... Allahul musta'aan wa 'alaihit tuklaan.

P.S. Subhanalloh.. Artikel yang sangat menyentuh. Mungkin artikel ini ditujukan untuk semua orang, tapi ketika aku membacanya, seolah-olah ini memang untukku.. Astaghfirullah.. Betapa rusaknya hati ini!! betapa kotornya hati ini. Terlalu nikmatnya aku terlena oleh dunia. Ampuni hamba Mu ini Ya Alloh.. Semoga kita bisa menjadi manusia yang lebih baik, yang bisa selalu mengingat Rabb nya, yang selalu mensyukuri nikmat, rahmat, karunia, bahkan ujian yang diberikan Nya. Allohumma amin.

This way is the truth. We must be chance our live to be better than now. With always remember Alloh, dzikir, pray, and thanksgiving to Him, our heart will be always get the eternal peace and love.

with the eternal love to Alloh ~ A. A. Pravitasari ~

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Shalat Dengan Menggunakan Sutrah Atau Pembatas?

Bismillah.. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Apabila ada yang shalat diantara kalian maka sholatlah dengan menggunakan pembatas dan hendaklah dia mendekati pembatas tersebut, janganlah membiarkan seorangpun lewat antara dirinya dan pembatas tersebut" [1]

Ini merupakan dalil/nash yang umum tentang sunnahnya mengambil sutrah ketika sholat baik di masjid maupun di rumah. Sutrah berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ada sebagian orang-orang yang mengerjakan sholat telah melarang dirinya dari sunnah (menggunakan sutrah) tersebut sehingga dijumpai ketika sholat, mereka tidak menggunakan sutrah.

Sunnah ini berulang kali berlaku bagi seorang muslim dalam kesehariannya. Hal (menggunakan sutrah) itu berlaku juga pada sunnah-sunnah yang Rawatib, pada Sholat Dhuha, Tahiyatul Masjid, Sholat Witir, dan sunnah tersebut juga berlaku bagi seorang perempuan yang sholat sendirian di rumahnya. Sedangkan ketika sholat berjamaah maka yang menjadi penghalang/tabir bagi para makmum adalah imam sholat.

Permasalahan-Permasalahan Seputar Sutrah

[a]. Sutrah ketika sholat dapat menggunakan apa-apa yang berada di arah kiblat seperti tembok, tongkat, atau tiang dan tidak ada pembatasan tentang bentangan/lebar sutrah.

[b]. Tinggi sutrah kira-kira setingggi mu'akhiraturr [2], yaitu yang ukurannya kira-kira satu jengkal tangan.

[c]. Jarak antara kedua kaki dan sutrah adalah kira-kira tiga hasta (siku sampai ujung jari tengah) dan diantara dia dengan sutrah masih ada tempat (ruang) untuk melakukan sujud.

[d]. Sesungguhnya sutrah (tabir penghalang) disyariatkan bagi imam dan orang-orang yang sholat secara munfarid (sendiri) baik sholat wajib lima waktu maupun shalat sunnat

[e]. Sutrah makmum mengikuti sutrah imam, maka diperbolehkan melewati makmum apabila ada hajat (kepentingan).

Faedah Menerapkan Sunnah Ini

[a]. Sesungguhnya sunnah tersebut (dengan menggunakan sutrah ketika sholat) menjaga sholat agar tidak terputus yang disebabkan oleh lalu lalangnya siapa saja yang bisa memutuskan/membatalkan sholat (yaitu perempuan, keledai, dan anjing yang hitam) atau mengurangi pahalanya.

[b]. Mencegah pandangan dari melihat orang-orang yang lalu lalang karena orang yang memakai sutrah secara umum pandangannya ke arah sutrah dan pikirannya terkonsentrasi pada makna-makna bacaan sholat.

[c]. Orang yang sholat memakai sutrah telah memberikan kesempatan bagi orang yang berlalu-lalang maka tidak perlu menjauhkan orang-orang yang berlalu lalang di depannya.

[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]

_________ Foote Note [1]. Hadits Riwayat. Abu Dawud no. 697 dan 698. Ibnu Majah no. 954 dan Ibnu Khuzaimah 1/93/1. [Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Al-Albany hal. 82.] [2]. Sandaran pada bagian belakang pelana kuda yang ukurannya kira-kira dua pertiga dziraa' (1 dziraa'= sepanjang siku-siku tangan sampai ujung jari tengah) [Lisaanul arab III/1495]

Sumber : www.assunnah-qatar.com/fiqh-artikel-195/441-shalat-dengan-menggunakan-sutrah-atau-pembatas.html

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Kamis, 18 Maret 2010

BAHAYA FITNAH TAKFIR

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi http://www.almanhaj.or.id/content/2684/slash/0

Dunia Islam dan kaum muslimin dewasa ini cukup menyedihkan. Tuduhan demi tuduhan dilemparkan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala, akibat ulah sebagian kelompok kaum muslimin. Musuh-musuh Islam terus mengintai negara dan masyarakat Islam; mengintai kapan kaum muslimin berbuat salah, kapan menjadi materialis dan kapan cinta dunia menguasainya.

Akhirnya, masa-masa yang ditunggupun tiba. Kaum muslimin hidup bergelimang dunia dan dosa. Kebodohan menjadi ciri mereka, menyebabkan keluar dan menyelisihi syariat. Tanpa sadar membuat kerusakan di bumi dan seisinya. Padahal sesuatu yang menyelisihi, pasti berbahaya; apalagi dalam permasalahan agama.

Kehinaan dan fitnah pun melanda kaum muslimin, sebagai konsekwensi akibat melanggar dan jauhnya mereka dari syariat RasulNya.

Allah berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih". [An Nur:63].

Bermunculanlah penyakit dan fitnah dalam tubuh kaum muslimin. Membuat mereka bingung, sedih dan berpecah-belah. Semoga Allah mengembalikan dan mempersatukan kaum muslimin di atas ajaran agama Islam yang benar.

Diantara fitnah yang muncul dan sangat berbahaya dalam tubuh kaum muslimin, yaitu fitnah takfir. Takfir ialah vonis kafir terhadap orang lain yang menyimpang dari syari'at Islam. Fitnah ini berawal dari munculnya sekte Khawarij pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Fitnah ini pernah mengguncang dunia Islam. Menumpahkan ribuan, bahkan jutaan darah kaum muslimin. Telah banyak harta dan jiwa yang dikorbankan kaum muslimin untuk meredam fitnah ini

Lihatlah, sejak pembunuhan khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu, disusul dengan terbunuhnya khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, hingga pemberontakan mereka terhadap negara Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah, serta negara-negara Islam hingga saat ini. Sehingga Dr. Ghalib bin Ali Al 'Awajiy menyatakan,"Khawarij merupakan salah satu firqah besar yang melakukan revolusi berdarah dalam sejarah politik Islam. Mereka telah menyibukkan negara-negara Islam dalam waktu yang sangat panjang sekali." [1]

Pertama kali muncul, mereka mencela sebaik-baiknya orang shalih waktu itu. Yaitu Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu. Bukanlah satu hal aneh, karena tokoh pertama mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah telah mencela sebaik-baiknya makhluk Allah, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dikisahkan dalam riwayat dibawah ini :

أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

"Sesungguhnya Abu Sa'id Al Khudri bercerita,"Ketika kami bersama Rasululluh n dan beliau membagi-bagikan sesuatu. Datanglah Dzul Khuwaishirah seorang yang berasal dari Bani Tamim kepada beliau, lalu berkata,'Wahai Rasulullah berbuat adillah!' Lalu beliau menjawab,'Celaku kamu, siapakah yang berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil? Engkau telah rugi dan celaka jika aku tidak adil'. Umar berkata,'Wahai Rasulullah izinkanlah aku memenggal lehernya'. Beliau menjawab,'Biarkan dia! Sesungguhnya dia memiliki pengikut. Salah seorang dari kalian akan meremehkan sholatnya dibanding sholat mereka dan puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur'an, tapi hanya ditenggorokan mereka saja. Mereka meninggalkan agama, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya'." [Mutafaqun alaihi].

Nampaklah, bahwa kemunculan Khawarij berawal dari persoalan harta dan penentangan terhadap pemimpin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

"Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umatku adalah harta".

Dzul Khuwaishirah menentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan slogan keadilan. Menuntut keadilan, hak dan persamaan. Dia menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat tidak adil, sehingga menuntut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan keadaan pengikutnya.

Tuduhan dan tuntutan seperti ini ditujukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya, kepada orang yang berada dibawah (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), dari para penguasa dan wali amri kaum muslimin lebih gampang dan mudah bagi mereka menyampaikan tuntutannya. Ketika pengikut Dzul Khuwaishirah muncul pada zaman Ali bin Abi Thalib, juga karena persoalan harta dan penentangan mereka terhadap kebijakan Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu [2]. Setelah itu, mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin seluruhnya, kecuali anggota sektenya. Inilah yang melandasi pemberontakan mereka dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan dalam haditsnya,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

"Sesungguhnya di belakang orang ini akan lahir satu kaum yangmembaca Al Qur'an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka, niscaya aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan kaum 'Ad".[3]

Dan dalam riwayat yang lainnya:

هُمْ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ

"Mereka adalah sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah langit" [4]

Kaum Khawarij ini diperangi kaum muslimin, hingga hampir hilang dari permukaan bumi. Memang, kumpulan mereka ini masih ada di beberapa tempat, seperti: di Oman, Maroko, Al Jazair dan Zanjibar. Diwakili oleh sekte Ibadhiyah. Meskipun demikian, pemikiran dan aqidah mereka masih eksis dan bertebaran di sekitar kaum muslimin. dan terkadang sebagian kaum muslimin tidak sadar memiliki pemikiran dan aqidah mereka ini.

Kemudian lebih dari seperempat abad yang lalu muncullah istilah takfir dan hijrah, ditandai dengan satu kejadian besar. Yaitu pembunuhan terhadap penulis kitab At Tafsir wal Mufassirun, Syaikh Muhammad Husein Adz Dzahabi.

Jamaah takfir wal hijrah ini dikatakan oleh para peniliti, sebagai bagian dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka kecewa dengan sikap dan tindakan tokoh-tokoh pemimpin Ikhwanul Muslimin dengan peran mereka dalam politik negeri Mesir. Lalu mengangkat panji hakimiyah sebagai simbol pemisah kafir dan Islam. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan seluruh kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyatnya –tentu- kecuali anggota jamaah mereka.

Dari takfir ini, mereka melakukan pembunuhan, peledakan dan pelecehan hak para ulama serta kaum muslimin. Mereka mengambil pemikirannya berdasarkan tulisan dan pernyataan Sayyid Quthub yang telah menjadi imam dan pemikir sejatinya. Kita akan semakin jelas melihatnya, jika mencermati dan menelaah pemikiran Sayyid Quthub, salah seorang tokoh legendaries Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka banyak menjadikan pemikiran tokoh intelektual ini dalam kaidah beragama. Memnyebabkan mereka menjadi orang yang cepat memvonis kafir terhadap orang lain. Mencela para ulama yang tidak cocok atau dianggap tidak sesuai dengan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena orang yang telah terkena fitnah takfir, tentunya tidak lepas dari gaya penampilan para pendahulu mereka dari kalangan Khawarij. Beberapa pemikiran Sayyid Quthub tentang takfir, dapat diketahui besarnya bahaya yang muncul karenanya.

Tentang takfir ini [5], Sayyid Quthub mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, termasuk para muadzin yang selalu melantunkan kalimat tauhid. Seperti ini dapat dilihat pada tulisan beliau. Diantara pernyataan beliau, ialah:

1. Manusia telah murtad kepada penyembahan makhluk (paganisme) dan kejahatan agama serta telah keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Walaupun sebaian mereka masih selalu mengumandangkan Laa ilaha Illa Allah diatas tempat beradzan".[6]

2. Manusia telah kembali kepada kejahiliyahan, dan keluar dari Laa ilaha Illa Allah … Manusia seluruhnya -termasuk orang–orang yang selalu mengumandangkan kalimat Laa ilaha illa Allah pada adzan-adzan di timur sampai barat bumi ini tanpa pengertian dan pembuktian nyata- bahkan mereka ini lebih berat dosa dan adzabnya pada hari kiamat; karena mereka telah murtad kepada penyembahan makhluk, setelah jelas bagi mereka petunjuk dan setelah mereka berada di agama Allah [7].

3. Masyarakat yang menganggap dirinya muslim masuk ke dalam lingkungan masyarakat jahiliyah, bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah. Bukan pula karena menunjukkan syi'ar-syi'ar peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi mereka masuk ke dalam lingkup ini karena tidak beribadah kepada Allah saja dalam hukum-hukum kehidupannya.[8]

4. Orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hakimiyah –di semua zaman dan tempat- adalah orang-orang musyrik. Tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan ini, walaupun mereka berkeyakinan terhadap Laa ilaha illa Allah dan tidak pula syi'ar (peribadatan) yang mereka tujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[9]

5. Di permukaan bumi ini, tidak ada satupun negara Islam dan tidak pula masyarakat muslim [10].

Sayyid Quthub mengkafirkan masyarakat kaum muslimin yang ada. Karena –masyarakat muslim itu- tidak menggunakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, beliau mensifatkan penyembah berhala -dari kalangan kaum musyrikin- dengan pernyataannya: "Kesyirikan mereka yang hakiki bukanlah pada permasalahan ini -yaitu penyembahan berhala untuk mendekatkan diri dan meminta syafaat di hadapan Allah- dan tidak pula islamnya orang yang masuk Islam karena meninggalkan permohonan syafaat kepada para berhala tersebut".[11]

Perhatikanlah pernyataan beliau ini. Bukankah menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini?

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu," [An Nahl:36]

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu", [An Nisa:48].

Bahkan para Rasul berdakwah mengajak kaumnya untuk tidak menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyatakan,

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya". [Al-A'raf:59].

Kemudian kaum 'Ad membantah ajakan nabi mereka dengan menyatakan,

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَاكَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

"Mereka berkata,"Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami, maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar." [Al-A'raf:70].

Demikian juga kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ketika didakwahi untuk tidak menyembah orang shalih yang diyakini dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka menyatakan,

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

"Dan mereka berkata,"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr," [Nuh:23].

Ternyata dakwah para Rasul ialah mengajak manusia menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi syirik dalam peribadatan, bukan syirik hakimiyah; tidak seperti yang mereka inginkan. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan dalam pernyataan beliau :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

"Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika kamu menjumpaiKu dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, kemudian menjumpaiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu, sungguh Aku akan memberimu sepenuh pengampunan bumi" [12].

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ

"Wahai Mu'adz, tahukah engkau, apa hak Allah atas hambaNya?Dia (Mu'adz) menjawab,"Allah dan RasulNya lebih mengetahui." Rasulullah menjawab,"MenyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Apakah engkau tahu, apa hak mereka atas Allah?" Mu'adz menjawab,"Allah dan RasulNya lebih mengetahui." Beliau menjawab,"Tidak mengadzab mereka." [13]

Subhanallah! Seandainya memang benar perkataan dan pernyataan Sayyid Quthub ini, tentulah apa yang didakwahkan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan umat manusia. Ini sungguh kesalahan yang sangat fatal sekali.

Pemikiran takfir ini terus merebak di kalangan para pemuda kaum muslimin yang bersemangat. Sehingga, akibatnya mereka mengorbankan diri untuk meledakkan bom, merusak dan membunuh dengan dalih jihad suci melawan orang kafir. Bahkan lebih dari itu, mereka melecehkan para ulama dan mengkafirkannya. Lantaran para ulama itu tidak mengkafirkan orang yang telah kafir. Sungguh mengerikan akibat ditimbulkan dari pemikiran takfir ini.

Maka, sudah seharusnya kaum muslimin senantiasa waspada terhadap kembalinya pemikiran-pemikiran yang merusak ini. Yaitu dengan menuntut ilmu agama dari para ulama, dan tidak tergesa-gesa memvonis kafir (takfir) terhadap orang lain, serta senantiasa menyerahkan permasalahan kepada ahlinya.

Ya Allah, kembalikanlah kami dan mereka ke dalam naungan Engkau. Tunjukanlah ke jalan yang Engkau ridhai.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote [1]. Firaqun Mu'asharah Tantasibu Ilal Islam 1/88, karya Dr. Ghalib bin Ali Al 'Awajiy [2]. Lihat kisahnya dalam perdebatan Ibnu Abbas dengan mereka dalam buku Mengapa Memilih Manhaj Salaf, halaman 135-140 [3]. Diriwayatkan oleh Abu Daud. [4]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 2926 dan Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no.173 [5]. Semua penukilan perkataan Sayyid Quthub diambil dari makalah Syaikh Sa'ad Al Hushein dalam Majalah Al Ashalah, 35/VI/Sya'ban 1422H, halaman 30-32, yang berjudul Fitnah At Takfir. [6]. Fi Dzilalil Qur'an 2/1057, Cetakan Darusy Syuruq. [7]. Ibid. [8]. Ma'alim Fi Thariq, hal.101, Cetakan Darusy Syuruq. [9]. Fi Dzilalil Qur'an 2/1492, Cetakan Darusy Syuruq. [10]. Ibid. 2/2122. [10]. Ibid. 3/1492. [11]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no.3463. [12]. Mutafaqun 'alaihi

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/category/view/63/page/1

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Salafi vs Sabili

Redaksi: adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah.

Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuhu. Telah banyak sms seperti diatas yang dilayangkan ke meja Redaksi. Kesemuanya meminta kepada kami untuk membuat semacam jawaban atau bantahan atas tulisan yang dimuat di majalah tersebut. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Redaksi memutuskan untuk memberikan tanggapan sekaligus bantahan. Insya Allah jawaban yang ditulis oleh Ustadz Abdurrahman Thoyyib, Lc ini memuaskan dan sangat mencukupi. Sidang pembaca harus membacanya dengan seksama.

Perlu untuk kita ketahui disini, bahwasanya sudah merupakan ketetapan Allah ta’ala adanya musuh penentang dakwah para Nabi. Dakwah mereka dibenci, dimusuhi, bahkan sampai diperangi. Demikianlah kira-kira yang telah dialami oleh para Nabi terdahulu yang merupakan sebaik-baik manusia. Maka, sangat wajar sekali bila para ulama’ sebagai perwaris para Nabi, demikian pula para pengemban dakwah yang Haq ini terus digunjing, dihujat, dihasadi, difitnah, dst.

Dalam perumpamaan orang arab disebutkan :

“Biarkan anjing menggonggong, Kafilah tetap berlalu.”

Kebenaran adalah kebenaran meskipun tidak semua orang dapat melihatnya. Dan kebathilan adalah kebathilan meskipun tampak bagi mayoritas manusia. Adapun tugas kita, memohon kepada Allah agar kita diperlihatkan yang benar itu benar dan yang bathil itu bathil. Wallahul Musta’an

SALAFI vs SABILI

Oleh : Abu ‘Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafy, Lc

Lidah memang tak bertulang, sehingga banyak manusia yang berbicara tanpa ilmu, menuduh tanpa dalil dan menulis serta memvonis tanpa berpikir. Itulah Majalah Sabili, pada edisi no.10 tahun XVII desember 2009/23 Dzulhijjah 1430 Sabili memuat beberapa artikel yang berisikan celaan dan tuduhan dusta kepada Dakwah Salafiyyah yang mubarokah ini dan sekaligus berisikan pembelaan terhadap kebathilan dan para pengikutnya. Allah -عزّ و جل- berfirman :

“Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan kecuali dusta”. (QS.al-Kahf:5)

Maka dengan memohon taufiq dan pertolongan-Nya kami akan berusaha untuk menyingkap sebagian kedustaan dan kebathilannya.

“Agar orang yang binasa itu binasanya karena keterangan yang nyata dan agar orang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula”. (QS.al-Anfaal:42)

Dan diantara penulis artikel tersebut adalah oknum yang belum bertaubat dan belum sadar akan kesesatan serta kejahilannya yang pernah kita bantah dahulu pada edisi 20 (Majalah Aaz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah) Yaitu Kyai Al-Jaidi (Majalah Mabadi’ edisi 4 tahun 2/2006). Mari kita simak kerancuan, kebodohan dan kebathilan sang Kyai serta Sabili :

1. Kebodohan Sang Kyai tentang Dakwah Salafiyah

Dia Mengatakan (hal.20) :”Kelompok yang mengkalim bernama salafi muncul sekitar tahun 1986″.

Perlu diketahui bersama bahwa Salafiyah bukanlah suatu gerakan/partai/golongan yang serupa dengan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau Jama’ah Tabligh atau NII yang didirikan beberapa puluh tahun yang lalu oleh pemimpin-pemimpin besarnya seperti Hasan Al-Banna, Taqiyuddin An-Nabhani, Muhammad Illyas dan Kartosuwiryo. Dakwah Salafiyah adalah nisbah/menisbatkan diri kepada manhaj/metode salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan bukan aliran baru dalam Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -رحمه الله- berkata :

“Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib untuk menerima hal tersebut menurut kesepakatan, karena tidaklah madzhab salaf itu kecuali benar” [Majmu' Fatawa 4/149].

Salafiyah adalah silsilah dakwah para salaf, pemegang tongkat estafet dakwah mereka. Salafiyah selalu berusaha mewujudkan sabda Nabi -صلى الله عليه و سلم- dalam hadits Firqotun Najiyah :

“Yang mengikuti aku dan para sahabatku” (HR.Tirmidzi dengan sanad yang hasan)

Salafiyah merupakan perwujudan dari anjuran ulama salaf, diantaranya Imam Al-’Auzai -رحمه الله- yang berkata :

“Bersabarlah diatas sunnah, berhentilah kemana (para salaf) berhenti, katakan dengan apa yang mereka katakan dan cegahlah dari apa yang mereka cegah. Telusurilah jejak salafush sholeh karena akan mencukupimu apa yang mencukupi mereka”. (“Asy-Syari’ah ” oleh Al-Ajury” hal 58)

Lebih dari itu Salafiyah adalah pengikut setia para salaf yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya :

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS At-Taubah 100)

Manhaj Salaf (dakwah Salafiyah) adalah manhaj yang benar karena dia berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman para salafush sholeh. Inilah yang harus kita katakan seperti yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -رحمه الله- diatas. Adapun pribadi orang yang menisbatkan kepada manhaj ini maka kita katakan :

“Setiap manusia itu pernah bersalah dan sebaikbaiknya orang yang salah adalah yang bertaubat”(HSR.Ibnu Majah)

Dan kita katakan seperti yang dikatakan oleh Imam Malik -رحمه الله- : “Tidak ada seorangpun setelah Nabi melainkan diambil ucapannya atau ditolak”.

2. Kebodohan sang Kyai terhadap fakta

Dia mengatakan (hal.20) : “Maka, perbedaan yang ada sejak 1800-an, 1900-an adalah bersifat khilafiyah yang bukan bersifat ushul atau perbedaan pada cabang saja…”.

Ternyata sang Kyai buta akan fakta dan sejarah yang ada. Ataukah sang Kyai masih dalam alam mimpi dan dunia khayalan?! ataukah sang Kyai jahil tentang makna ushul atau cabang agama ?. Umat berpecah belah dan berbeda bukan dalam masalah cabang saja sejak sepeninggal Rasul hingga sekarang dan sampai akhir zaman nanti. Pada tahun 1800-an, 1900-an apakah tidak ada umat yang menyembah kuburan, meminta atau bertawassul kepada wali-wali yang telah mati? Wahai pak Kyai, apakah ini masalah cabang ataukah ushul ? Tidakkah ada diantara umat yang berbuat Bid’ah pada waktu itu ? Tidakkah anda membaca kitab-kitab pendiri kalian (Syaikh Ahmad Surkati) yang sangat keras dan tegas terhadap masalah syirik dan bid’ah, seperti tahlilan, talqin diatas kubur dan lain-lain?”(1) Sungguh jauh sikap kalian yang amat plin-plan dengan sikap pendiri kalian, apalagi sikap ulama salaf.

Pak Kyai mengatakan (hal.25) : “Yang sekolah di Madinah, ketika pulang masih bersedia ikut maulid dan tahlil.”

Darimana pak Kyai membuat kesimpulan seperti itu?! Sedangkan saya dan teman-teman yang -alhamdulillah- lulusan Universitas Islam Madinah sangat benci kepada acara-acara Bid’ah tersebut. Kalau bicara dipikir dulu, pak Kyai? Jangan Asbun (Asal bunyi).

3. Kebodohan sang Kyai terhadap makna Sunnah.

Pak Kyai berkata (hal.20) : “Sehingga mereka selalu mengatakan ihya sunnah. Bukannya tidak baik, bagaimana kita menghidupkan sunnah Rasulullah . Tetapi banyak kewajiban yang kita lupakan, misalnya perintah Allah agar bersaudara, saling menghormati, memberikan salam. Ini semua perintah Allah untuk menyambung silaturahim, bukan hanya sunnah.”

Ketika Dakwah Salafiyah mengatakan “Ihya Sunnah” itu maksudnya menghidupkan kembali metode hidup Rasulullah baik yang hukumnya wajib atau mustahab. Karena kata-kata “as-Sunnah” jika di mutlakkan bisa berarti 4 makna :

[a]. Segala sesuatu yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

[b]. Sinonim “al-Hadits”, jika digandengkan dengan kata-kata “al-Qur’an”.

[c]. Antonim Bid’ah.

[d]. Mustahab (Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa).”(2)

4. Kebodohan pak Kyai tentang makna hadits

Pak Kyai mengatakan : “…Sebabnya hanya masalah khilafiyah seperti tidak pakai jenggot, isbal, tidak ada dua titik hitam di kening. Orang yang seperti ini dianggap bukan ikhwan mereka. Padahal Nabi mengatakan, Allah tidak melihat pada penampilan kamu, rupa kamu, tapi Allah melihat pada hati kamu dan amal shalih kamu. Ini yang seharusnya menjadi acuan kita.”

Adapun masalah jenggot maka Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- bersabda :

“Tipiskan kumis-kumis dan panjangkan jenggot-jenggot, selisihilah kaum Majusi.” (HR. Muslim)

Dan tentang isbal maka beliau -صلى الله عليه و سلم- bersabda :

“Apa yang turun dari kain sarung (yang menutupi) kedua mata kaki maka tempatnya di Neraka” (HR. Bukhari)

Ini bagi yang tidak sombong ancamannya neraka, adapun yang sombong maka Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- bersabda :

“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kain sarungnya (hingga menutupi mata kaki) dengan sombong pada hari kiamat” (HR.Bukhari dan Muslim)

Bahkan al-Khalifah ar-Raasyid, Amiirul Mu’miniin Umar bin Khattab -رضي الله عنه-ketika dalam keadaan kritis setelah ditusuk oleh Abu Lu’lu’ al-Najusi, beliau masih menyempatkan diri untuk menasehati seorang pemuda yang datang kepada beliau dengan pakaian yang sampaii menyentuh tanah :

“Wahai Anak saudaraku, angkat pakaianmu, karena itu lebih bersih untuk pakaianmu dan lebih bertaqwa kepada Rabbmu” (HR.Bukhari)

Inilah diantara sunnah Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- yang selalu dihidupkan oleh Dakwah Salafiyah dan ingin dimatikan oleh sebagian orang-orang jahil dengan alasan khilafiyah. Dan lebih parah lagi Pak Kyai berdalil dengan hadits yang sebetulnya merupakan boomerang baginya. Karena hadits tersebut menyebutkan : “…tapi Allah melihat pada hati kamu dan amal shalih kamu”. Di antara amal shalih adalah mengikuti perintah Rasululllah -صلى الله عليه و سلم- (memelihara jenggot dan menaikkan kain sarung atau celana di atas mata kaki) Tapi itulah kebodohan yang membuat pelakuanya terkadang tidak sadar akan kebodohannya.

Kalau hadits ini bisa dijadikan dalil bagi yang tidak berjenggot dan isbal, maka bagaimana menurut pak Kyai jika ada wanita tidak berjilbab atau laki-laki yang telanjang bulat berdalil dengannya?! Kalau pak Kyai belum bisa mengamalkan perintah Rasulullah ini, maka perbanyaklah istighfar dan berusaha untuk menjalankannya. Jangan banyak alasan, nanti semakin ketahuan kebodohan pak Kyai dan malah bertumpuk dosa karena melegalkan kesalahan serta mengotak-atik dalil bukan pada tempatnya.

Kalau salafi menganggap yang tidak berjenggot itu bukan ikhwan mereka, mungkin itu ada benarnya juga. Karena yang namanya ikhwan (kaum pria) itu cirinya kan berjenggot ?! Kalau akhwat (kaum wanita) tentu nggak berjenggot, demikian pula banci.(3)

Adapun masalah dua titik di kening, darimana pak Kyai dapatkan? Coba di majalah atau buku salafi yang mana ?

5. Kontradiksi dalam ucapan pak Kyai

Pak Kyai berkata (hal.20) : “Sesungguhnya dulu tidak ada pemahaman salafi, yang ada hanya empat madzhab imam bin Hambal, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi.”

Sedangkan sebelumnya pak Kyai mengatakan: “Jadi, nama Salafi hanya menjadi nama sekolah atau buku-buku yang ditulis para imam terdahulu yang sangat menjiwai pemahaman para salafushalih”. Dan di hal.(51) pak Kyai mengatakan: “Sepanjang pengamatan saya, kelompok salafi ini mengadopsi secara utuh madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.”

Beginilah keadaan orang tidak paham akan apa yang dia katakan.

6. Tuduhan Dusta dan Prasangka-prasangka buruk sang Kyai.

Pak Kyai mengatakan hal.(22): “Karenanya, saya menduga bahwa gerakan ini memiliki kaitan dengan kekuatan diluar islam untuk mengadu domba kaum Muslimin.” Dan pada hal.(23) dia mengatakan: “Saya katakan, apakah ada indikasi gerakan ini merupakan bagian dari gerakan zionis? Gerakan diluar islam? Jika Iya lantas bentuknya seperti apa? ini baru indikasi, saya belum bisa memastikannya”. Dan pada halaman yang sama dia juga berkata: “Makanya, saya menduga gerakan ini merupakan bagian dari operasi intelijen.”

Apakah ini akhlak Kyai (pertama) di Al-Irsyad? Menuduh tanpa bukti, berkata tanpa ilmu dan berdusta tanpa takut dosa serta adzab. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun…. Semoga Allah memberi adzab kepada para pendusta umat ini.

Tidakkah pak Kyai ingat firman Allah -سبحانه و تعالى- :

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa”. (QS.al-Hujurat:12)

Dan sabda Nabi -صلى الله عليه و سلم- :

“Hati-hatilah kalian dari berprasangka (buruk), karena prasangka tersebut adalah sedusta-dustanya ucapan”. (HR.Bukhari dan Muslim).

Dan beliau -صلى الله عليه و سلم- juga bersabda :

“Tidaklah manusia ditelungkupkan wajahnya di dalam api neraka melainkan karena ucapan lisannya”. (HR.Tirmidzi)

Pak Kyai pada hal.(24) berkata: “Apalagi, dari pengamatan kami, gerakan mereka terselubung, doktrin yang ditanamkan pada jamaah sangat tertutup dan ekslusif”.

Saya tidak habis pikir, bagaimana sistem pengamatan pak Kyai? Majalah kita tersebar dimana-mana, ma’had-ma’had Dakwah Salafiyah berdiri di banyak daerah, demikian pula dengan majlis ilmu kita, pintu kita selalu terbuka bagi orang yang masih punya hati tuk melihat.

Allah -سبحانه و تعالى- berfirman :

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada”. (QS.al-Hajj:46)

” Kebenaran itu bak mentari dan mata-mata ini memandangnya,

Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta “

Pak Kyai berkata hal.(24): “Jadi, kepada sesama Muslim saja mereka ekstrim, bagaimana mereka berurusan dengan orang yang bukan islam. Akan lebih “garang” lagi. Inilah yang bisa menimbulkan terorisme.”

Insya Allah setiap orang yang mengenal Dakwah Salafiyah tahu bahwa Dakwah Salafiyah sangat anti dengan terorisme. Alhamdulillah, beberapa kali majalah kita adz-Dzakhiirah memuat makalah tentang bantahan kepada terorisme.4) Dan -insya Allah- pada edisi-edisi mendatang kita juga akan menjelaskan tentang gembong teroris pada abad ini.

Pak Kyai berkata hal.(25): “Disini,saya melihat, hilangya faktor keikhlasan dalam berdakwah, karena ada unsur kepentingan yakni kepentinga kelompok (hizbiyah). Karenanya, Al-Irsyad Al-Islamiyah paling terkena dampaknya, karena mereka menyerang ideologis”

Apa pak Kyai tahu hal ghaib ?!

Apa pak Kyai punya ilmu kasyf ?!

Apa pak Kyai tahu hati manusia ?!

Justru yang perlu dipertanyakan adalah tentang keikhlasan pak Kyai, karena dari dulu yang dibicarakan tidak keluar dari dana bantuan luar negeri.

Apa karena bapak nggak dapat jatah, hingga membabi buta?!

Sungguh ironis dan menyedihkan…

Kemudian siapakah yang hizbiyah?! Pak Kyai ataukah Salafi?! Dari dulu pak Kyai selalu mengedepankan Al-Irsyad, ber-wala’ dan ber-baro’ karena Al-Irsyad (seperti dalam hal.21,25,32). inilah yang sebetulnya dikatakan hizbiyah (fanatik golongan), mengapa anda tidak sadar?!

Siapa yang mengklaim dirinya paling benar?!

Sabili sebagai fans berat kelompok Ikhwanul Muslimin lupa atau pura-pura lupa atau bodoh atau pura-pura bodoh bahwa sesepuh merekalah para penyeru fanatik golongan yang mengklaim pemahamannya paling benar, mau bukti? Inilah buktinya :

[a]. Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin) berkata: “Sesungguhnya yang aku maksud dengan pemahaman disini adalah engkau meyakini bahwa pemikiran-pemikiran kita adalah islam yang benar dan engkau harus memahami islam ini sesuai dengan apa yang kami pahami…” (Majmu’atu Rasaail al-Imam asy-Syahiid hal.363)

[b]. Sa’id Hawa dalam kitabnya Fi Aafaaqi at-Ta’aaliim (hal.29) berkata : “Rumah tangga muslim yang sempurna adalah yang berpegang teguh dengan mabaadi’ (ajaran-ajaran) al-Ikhwanul Muslimun, karena itulah kesempurnaan islam kontemporer. Oleh karenanya, al-Ustadz al-Banna menjadikan kewajiban seorang pergerakan adalah mewajibkan rumah tangga dengan mabaadi’ al-Ikhwanul Muslimun.”

[c]. Sa’id Hawa juga berkata: “Sesungguhnya jama’ah al-Ikhwan (al-Muslimun) itulah yang selayaknya seorang muslim meletakkan tangannya diatas tangan al-Ikhwan”. (al-Madkhal ila Jama’atil Ikhwan al-muslimin hal.29-30)

[d]. Dia juga berkata: “oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ketinggalan dari dakwah ini.” (Fi Aafaaqi at-Ta’aaliim 16)

[e]. Dia juga berkata: “Jika keadaan jama’ah (al-Ikhwan al-muslimun) seperti ini, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk keluar darinya…” (Min Ajli Khuthwatin ila al-Imam hal.40)

[f]. Dia juga berkata : “Tidak ada di hadapan kaum muslimin kecuali pemikiran ustadz al-Banna jika mereka ingin jalan yang benar”. (Fil Aafaaqit Ta’aaliim hal.5 oleh Said Hawa)

Sabili di hal.(27) berkata: “Tapi ketika Salafi menjadi identitas suatu kelompok, mereka menebar fitnah, menyerang sesama muslim seputar fiqih”. Dan pada hal.(29) Sabili berkata: “Salafi yang merasa dirinya paling benar, sering menuduh tanpa bukti, bedusta atas nama para ulama dan sebagainya”

Sabili memang jago memutar balikkan fakta. Insya Allah orang yang berakal sehat dan didalam hatinya ada cahaya kebenaran dan ketaqwaan pasti tahu siapa yang menyebar fitnah, sering menuduh tanpa bukti dan berdusta. Apa yang telah kami tulis di atas -insya Allah- sebagai bukti bahwa sabili adalah pendusta penebar fitnah. Demikian pula yang akan disebut dibawah ini.

Apakah ketika kita membongkar kedok Hasan al-Banna yang tenggelam dalam kesufiannya itu masalah fiqih?! Ketika Dakwah Salafiyah menunjukkan hakikat Sayyid Quthb yang mencela para sahabat bahkan mencela seorang Nabi dan seabrek kesesatanyya itu dikatakan masalah fiqih? Jangan kalian membuat fitnah (provokator).

Sabili mengatakan hal.(30) : “Tak hanya itu, Hasan al-Banna kerap disebut sebagai pelaku bid’ah yang berakhir di neraka. Sayyid Quthb disebut pembawa ajaran sesat.”

Adapun Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb, maka memang kita yakini sebagai pelaku kebid’ahan dan pembawa kesesatan karena bukti-buktinya sangat amat kuat. Tidak percaya?! Lihat adz-Dzakhiirah edisi 21 dan 24, Semoga Allah membuka mata hati anda. Masak orang yang membawa setumpuk ajaran sesat kita katakan benar, apakah ini keadilan?!

Akan tetapi ucapan Sabili “…yang akan berakhir di neraka”, coba darimana kalian dapatkan, coba buktikan kalau kalian memang tidak berdusta?! Diantara prinsip Dakwah Salafiyah adalah tidak memvonis manusia dengan surga atau neraka atau syahid bagi individu tertentu kecuali kalau ada dalil khusus tentangnya.

Sabili mengatakan hal.50 dan 51: “Kelompok Salafi ini juga saling menyesatkan bahkan tak sungkan saling mengkafirkan satu sama lain…. Bahkan yang paling ekstrem, mereka tak sungkan berani mengkafirkan sesama muslim dalam soal yang dinilai umat islam yang lain sebagai hal yang bukan prinsip…”

Wahai Sabili, jika engkau bukan pendusta ulung, sebutkan kepada kami bukti tentang pengkafiran salafi seperti yang engkau sebut ini ?! Salafi adalah orang yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan seorang muslim bukan seperti Sayyid Quthb CS yang mengobral murah vonis kafir kepada kaum muslimin.(5)

Adapun celotehan kalian untuk menyudutkan Dakwah Salafiyah dikarenakan banyak manusia yang menolak Dakwah Salafiyah maka ini adalah hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Karena memang Dakwah Salafiyah adalag ghuraba’ (asing), sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- :

“Islam datang dalam keadaan terasing dan akan kembali dalam keadaan keterasingan seperti awal mulanya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR.Muslim)

Dan suara mayoritas manusia bukanlah hujjah dalam islam. Allah berfirman :

“Dan jika kamu menuruti kebanyak orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS.al-An’aam:116)

Demikianlah yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan sebagai obat penawar bagi yang terkena virus syubhat majalah Sabili dan semoga sebagai penguat bagi mereka yang berada diatas manhaj Salafi.

***

@1431 Copyright adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah STAI ALI BIN ABI THALIB Surabaya

_____________

1. Lihat majalah adz-Dzakhiirah juz 1 Muharram 1342H/1921 m Oleh Syaikh Ahmad Surkati yang telah kami terjemahkan dalam adz-Dzakhiirah kita edisi 14 tahun 3 Rabiuts Tsani 1426H/Juni 2005M

2. Lihat kitab al-Hatstsu ‘Alaa ittiba’ as-Sunnah hal.17-19 oleh Syaikh ‘Abdul muhsin al-’Abbad -حفظه الله-

3. Abu Hamid al-Ghozali — berkata: “Dengannya -yakni jenggot- dapat dibedakan antara laki-laki dan wanita.” (Ihya’ Ulum ad-Din,2/257)

4. Lihat adz-Dzakhiirah edisi 6,11,17, dan 56.

5. Lihat adz-Dzakhiirah edisi 24 tentang kesesatan Sayyid Quthb.

Sumber: http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/01/25/salafi-vs-sabili/

Menjawab Tuduhan Antara Wahabi & Terorisme

Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin , Lc

Membedah Akar Terorisme

Aksi teroris di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton menoreh luka berat di hati Umat Islam, karena terbukti para pelakunya adalah para aktifis masjid, lulusan pesantren, juru da’wah dan di masyarakat dikenal orang sopan santun, lemah lembut, pendiam dan tidak banyak tingkah, ternyata mereka adalah orang yang sadis, yang tidak mengenal kemanusiaan membunuh manusia dengan bom bunuh diri, hal ini benar-benar mencoreng nama baik Umat dan merusak indahnya syariat Islam.

Bagaimana masyarakat awam yang membenci Islam tidak berkomentar miring terhadap Islam karena memang pelakunya umat Islam. Sementara tokoh-tokoh agama bukannya sedih menyaksikan aksi pelecehan terhadap syariat malah saling lempar tuduhan, sehingga membuat kalangan awam makin bingung mereka harus bagaimana, bergabung dengan aktifis masjid takut terjaring teroris, sementara dalam lubuk hatinya tahu bahwa mereka harus mendalami Islam karena memang fitrah manusia. Maka semua pihak harus bersikap bijak menghadapi soal terorisme, agar tidak menimbulkan kontrofersi dan menuduh pihak-pihak yang belum terbukti bersalah.

Banyak faktor yang bisa memicu aksi terorisme dan gerakan radikal antara lain:

Pertama:

Kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran membuat potensi para pemuda mandek tidak tersalurkan, dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab, apalagi para pemuda yang semangatnya sedang bergejolak didekati dengan cara halus maka dengan mudah mereka direkrut karena mereka membutuhkan komunitas yang bisa menyalurkan aspirasinya, apalagi bila otak mereka dicuci bahwa yang menyebabkan mereka miskin adalah orang-orang kafir barat, maka siapa yang tidak terbakar, apa lagi ditanamkan kalau bisa membunuh orang kafir barat akan berbalas surga yang di dalamnya terdapat bidadari-bidadari cantik yang siap menyambutnya, pemuda mana yang tidak tergiur, meskipun harus mati dengan bom bunuh diri.

Kedua:

Aksi terorisme sebagai reaksi anak-anak bangsa yang tidak puas melihat kemaksiatan mengepungnya, kemungkaran melilit roda kehidupan, ketimpangan sosial menggurita, korupsi merajalela, prostitusi terbuka lebar, pelanggaran agama makin menggeliat, namun sayang aksi mereka tidak didukung dengan ilmu agama yang memadai dan pemahaman yang lurus di bawah bimbingan ulama yang terpercaya ilmunya maka mereka mengambil jalan pintas dengan aksi terorisme.

Ketiga:

Aksi terorisme muncul akibat kesalahan mereka dalam menimba ilmu Islam dan mengambil pemahaman Islam dari orang-orang yang belum diakui kapasitas keilmuan dan keagamaannya, bukan hanya salah teori namun juga salah aplikasi, suatu contoh doktrin jihad, bila mereka belajar dari bukan para ulama dan buku-buku yang menyimpang maka muncul anggapan bahwa semua aksi pembunuhan terhadap orang kafir termasuk jihad meskipun di zona damai dan tidak sedang perang. Padahal dalam pandangan fikih Islam, kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir yang sedang terjun di medan perang.

Keempat:

Kurangnya pemahaman terhadap kaidah maslahat dan mafsadah dan hakekat keindahan Islam yang diturunkan untuk menjaga lima pokok kebutuhan hidup manusia yang amat mendasar dan mengharamkan siapapun merusaknya yaitu agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Maka siapa yang menodai salah satu di antara lima perkara tersebut akan merusak tatanan kehidupan dan menodai inti ajaran Islam, sehingga tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang haramnya melenyapkan nyawa orang yang terlindungi baik nyawa muslim maupun non muslim kecuali ada alasan untuk membunuhnya seperti qisas, rajam atau peperangan.

Kelima:

Kondisi keamanan dan politik yang tidak stabil banyak dimanfaatkan oleh kelompok terorisme untuk melancarkan aksinya, bahkan negara yang kerap timbul konflik politik menjadi sarang paling subur, apalagi bila ada campur tangan pihak asing yang memanfaatkan situasi goncang, sehingga orang yang miskin iman dan lemah ekonomi sangat mudah diperalat untuk melancarkan target mereka.

Jihad Ala Teroris

Aksi terorisme yang sedang marak terjadi di negeri ini menorehkan rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin bukan hanya karena melihat terburainya usus para korban, berserakannya jasad para korban, rasa sakit yang dirasakan para korban dan tangisan pilu para keluarga korban, namun rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin melebihi semua itu karena banyak pihak mengklaim bahwa terorisme bagian dari agama Islam yaitu jihad.

Ajaran agama apapun tidak membenarkan aksi terorisme apalagi Islam agama mulia, rahmatan lil ‘alamin, mustahil membenarkan aksi terorisme dengan bom bunuh diri yang banyak menelan korban dan menimbulkan kerusakan. Jihad dalam Islam diatur dengan aturan syariat, tidak seperti yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatas namakan dirinya jihad fisabililah dan menggelari pelakunya dengan As Syahid dengan membunuh orang-orang kafir sedangkan mereka masuk ke negeri Islam dengan aman dan Rasulullah dengan tegas mengancam siapa saja yang membunuh mereka:

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada dalam ikatan perjanjian), maka ia tidak akan mencium aroma surga, padahal aromanya bisa ditemukan (dari jarak) sejauh empat puluh tahun (lama) perjalanan.” (Riwayat Bukhari)

Jika kaum teroris berdalih bahwa mereka tetap boleh dibunuh karena meskipun mereka datang tidak perang senjata tapi mereka datang dengan serangan pemikiran. Maka harusnya perang pemikiran harus dilawan dengan pemikiran bukan dengan pengeboman, realitanya yang mati bukan hanya orang kafir, orang muslimpun banyak yang mati, padahal Nabi bersabda:

“Hilangnya dunia lebih ringan di hadapan Allah ketimbang lenyapnya nyawa seorang muslim.” (Ibnu Majah)

Adapun penegakan jihad (qithal) hanya menjadi wewenang pemimpin negara, dialah yang memegang komando jihad, mengibarkan panji peperangan, menyusun strategi perang, dan memilih serta mengerahkan pasukan.

Wahabisme Versus Terorisme

Tersebar isu bahwa aksi teroris dikaitkan dengan kelompok Islam tertentu yang mereka sebut dengan kelompok wahabi. Pengkaitan aksi terorisme dengan kelompok wahabi merupakan bola api liar yang sangat berbahaya dan bisa mengenai siapa saja yang memperjuangkan pemurnian Islam. Sehingga saling lempar tuduhan, bahkan ada yang menyatakan bahwa kelompok teroris adalah mereka yang suka membid’ahkan kelompok lain maka hal ini bisa mengenai organisasi Muhamadiyah, al-Irsyad, Persis atau kelompok mana saja yang memperjuangkan kemurnian ajaran Islam.

Sebenarnya, Wahabi merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad kedua hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab -ed), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah, sangat membenci syiah dan sangat jauh dari Islam.

Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam.

Contohnya Inggris mengulirkan isu wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam.

Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:

  1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.
  2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.
  3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.

Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.

***

Penulis: Ustadz Zainal Abidin, Lc. Artikel ini sebelumnya dipublikasikan oleh Koran Republika, edisi Selasa, 25 Agustus 2009.Dipublikasi ulang oleh muslim.or.id dengan penambahan beberapa catatan kecil.

dan juga dipublikasikan oleh moslemsunnah.wordpress.com sebelum sampai ke blog ini.

Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menurut Syari’at Islam

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik.

Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.

Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah k dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka

Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.

Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.

Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.

A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]

Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]

B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:

Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Juga berfirman yang maknanya :

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak”.

Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak”.

Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]

Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya.

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]

Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]

Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]

Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Keempat: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta’alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً

“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [al-An’âm/6:115]

Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma,

“Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]

Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya.

Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ

“Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka.” [8]

Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.

Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” [9]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at” [10]

Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]

Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]

Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.

Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân:31]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]

Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya :

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu”

Adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini …”

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya,

“Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”

Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]

Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.

Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

” … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian” [an-Nisâ'/ 4:59]

Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna:

Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]

Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.

Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda,

“Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]

Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan” [18]

Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya” [19]

Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]

Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta.

Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]

Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.

Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30).

Dan dalam ayat yang lain, Allah k berfirman yang maknanya,

“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

“Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at”[23]

Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti.

Al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]

Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.

C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:

1). Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.

2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.

3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” [al-Ahzâb/33:56]

4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.

5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.

1. al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata : “Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”[26]

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]

3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]

4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata: “Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”[29]

5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata: “…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,[30]

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…”

6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya :

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]

7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata: “Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang maknanya :

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…

Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…”[32]

Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

Marâji’ : 1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah. 2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. 3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm. 4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj. 5. Siyar A’lâmin Nubalâ. 6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits. 7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami. 8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh. 9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi. 10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani. 11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi. 12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi. 13. al-Bida’ al-Hauliyyah. 14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin. 15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân. 16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M]. _________ Footnotes [1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137). [2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143). [3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah z . [4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah [5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213) [6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212). [7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas. [8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844). [9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189). [10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50). [11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120). [12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520). [13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718) [14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32). [15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59). [16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162). [17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs z . [18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249). [19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445). [20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151). [21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252). [22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13). [23]. Shahîh: HR. Muslim (2278). [24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14) [25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas. [26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas. [27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298). [28]. Al-Madkhal (II/234-235). [29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas. [30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas. [31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas. [32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.