Jumat, 26 Februari 2010

Pembebasan Allah Subhanahu wa ta'ala atas Aisyah ummul mukminin dari tuduhan kaum Munafik

TAFSIR SURAT AN-NUUR AYAT 11, TENTANG PEMBEBASAN ALLAH SUBHANAHU WA TA 'ALA ATAS 'AISYAH UMMUL MUKMININ DARI TUDUHAN DUSTA KAUM MU NAFIK.

"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dar i golonganmu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagimu bahka n ia adalah baik bagimu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan d ari dosa yang dikerjakan dan siapa diantara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya adzab yang besar. (QS. An-Nuur [24]: 11).

Kesepuluh ayat ini seluruhnya turun berkenaan dengan 'Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha, ketika beliau dituduh oleh ahlul ifki dari kalangan kaum munafik dengan perkataan mereka yang dusta dan bohong ya ng membangkitkan kecemburuan Allah terhadap 'Aisyah radhiyallahu 'anha dan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam hingga All ah menurunkan ayat pembebasannya demi menjaga kehormatan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-ora ng yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga," yai tu beberapa orang dari kamu, bukan satu dua orang saja, namun jama' ah (banyak orang). Orang yang paling berhak mendapat laknat ini adalah � ��Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh kaum munafik. Dialah yang mengumpu lakan data dan mengorek-ngorek informasi tentang persoalan ini hingga masuk kedalam benak sebagian kaum muslimin. Akhirnya mereka membicarakannya, seb agian orang bertindak lebih jauh lagi. Demikianlah kondisinya selama lebih kurang satu bulan hingga turunlah ayat. Penjelasan tentang ini dimuat dalam hadits-hadits shahih.

Imam Ahmad meriwayatkan dari az-Zuhri, bahwa ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin al-Musayyab, 'Urwah bin az-Zubair, � ��Alqamah bin Waqqash dan 'Ubaidullah bin 'Utbah bin Ma s'ud dari hadits [1] 'Aisyah, isteri Nabi shallallahu � ��alaihi wa sallam, ketika para penebar berita bohong melontarkan tuduh an terhadapnya lalu Allah menurunkan wahyu yang membebaskan dirinya dari tu duhan tersebut. Setiap perawi telah meriwayatkan kepadaku bagian-bagian ter tentu darinya, sebagian perawi lebih hafal daripada perawi lainnya dan lebi h lengkap kisahnya. Aku telah menghafal hadits ini dari setiap perawi dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, riwayat-riwayat tersebut saling membenarkan satu sama lain.

Mereka semua menyebutkan bahwa 'Aisyah radhiyallahu 'anha, isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

"Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendak pe rgi bersafar beliau akan mengundi diantara isteri-isteri beliau. Siapa yang keluar undiannya, maka dialah yang dibawa serta oleh beliau."

'Aisyah melanjutkan kisahnya: "Dalam satu peperangan yang h endak beliau ikuti, beliau mengundi diantara kami, ternyata yang keluar ada lah namaku. Maka aku pun keluar menyertai Rasulullah shallallahu 'a laihi wa sallam. Peristiwa itu terjadi setelah turunya perintah berhijab. A ku dibawa di atas sekedup (tandu diatas punggung unta), aku bermalam dalam sekedup itu. Kami pun menempuh perjalanan hingga akhirnya Rasulullah shalla llahu 'alaihi wa sallam selesai dari peperangannya itu dan bergegas hendak kembali. Ketika kami hampir mendekati kota Madinah, beliau memerint ahkan rombongan agar bergerak pada malam hari. Ketika itu aku keluar dari s ekedupku dan berjalan hingga menjauhi rombongan (untuk buang hajat). Setela h menyelesaikan hajat aku pun kembali. Aku meraba dadaku, ternyata kalungku yang terbuat dari akar zhafar putus dan hilang. Aku pun mencarinya hingga tertahan di tempat karena lama mencarinya. Pada saat bersamaan, rombongan k embali bergerak melanjutkan perjalanan. Mereka membawa sekedupku dan meleta kkannya di atas unta yang aku tunggangi. Mereka mengira aku berada di dalam nya.

Pada saat itu kaum wanita sangat ringan bobotnya, tidak berat dan tidak gem uk, mereka hanya makan sedikit saja. Mereka tidak mencurigai berat sekedup yang bertambah ringan ketika mereka membawa dan mengangkatnya. Ketika itu a ku adalah gadis muda belia. Mereka pun menggiring unta dan berjalan. Lalu a ku berhasil menemukan kalungku setelah rombongan bergerak jauh. Aku mendata ngi tempat perhentian tadi, tidak ada seorang pun disitu. Aku mencari-cari tempat semulaku disitu. Menurutku, rombongan pasti kembali mencariku.

Ketika aku duduk menunggu di tempatku, rasa kantuk datang menyerang hingga aku pun tertidur. Pada saat itu Shafwan bin al-Mu'aththal as-Sulami adz-Dzakwani berjalan di belakang rombongan. Ia berjalan hingga sampai ket empatku. Ia melihat bayangan hitam manusia sedang tidur. Ia datang mendekat iku. Ia langsung mengenalku begitu melihatku. Ia telah melihatku sebelum tu run perintah berhijab. Aku bangun begitu mendengar ucapan istirja'n ya (yaitu ucapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un). Akupun me nutup wajahku dengan jilbab. Demi Allah, ia sama sekali tidak berbicara pad aku walaupun sepotong kalimat. Aku tidak mendengar sepatah kata pun darinya kecuali ucapan istirja'nya ketika ia menambatkan kendaraannya. Ia memegang kaki kendaraannya dan mempersilahkan aku naik ke atasnya. Aku pun naik, kemudian ia membawaku hingga dapat menyusul rombongan setelah mereka berhenti di tengah hari yang sangat terik. Binasalah orang-orang binasa yan g mengomentari peristiwaku tersebut. Orang yang memiliki andil yang paling besar dalam penyebaran berita bohong itu adalah 'Abdullah bin Ubay bin Salul.

Kami pun tiba di Madinah. Setelah satu bulan tiba di Madinah aku jatuh saki t. Sementara orang-orang ramai membicarakan tuduhan ahlul ifki, sedang aku sama sekali tidak mengetahuinya. Sebenarnya aku telah merasakan kecurigaan saat aku sakit, aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang biasa aku terima saat aku sakit. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya datang menemuiku, mengucapkan s alam kemudian berkata, "Bagaimana kabarmu?" Itulah yang mem buatku curiga dan aku belum merasakan keburukannya hingga pada suatu ketika aku sudah merasa sehat aku keluar bersama Ummu Misthah ke al-Manashi� �, yaitu tempat kami buang hajat. Biasanya kami ke tempat itu hanya pada malam hari. Saat itu kami belum membuat tempat membuang hajat di dekat ruma h. Kami masih melakukan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Arab terd ahulu, yaitu buang hajat di padang pasir. Kami merasa terganggu dengan temp at buang hajat yang berada di dekat rumah.

Aku pun berangkat bersama Ummu Misthah, dia adalah puteri Abu Rahm bin Muth thalib bin 'Abdi Manaf, ibunya adalah puteri Shakhr bin 'Am ir, bibi dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anh. Puteranya be rnama Misthah bin Utsatsah bin 'Abbad bin 'Abdul Muthalib [ 2]. Aku pun kembali ke rumah bersama Ummu Misthah –puteri Abu Rahm- setelah selesai buang hajat. Ummu Misthah tiba-tiba mencela dari balik ker udungnya, ia berkata "Merugilah Misthah!" "Sungguh buruk perkataanmu, apakah engkau mencela seorang laki-laki yang telah mengi kuti peperangan badar?" kataku. "Duhai engkau ini, belumkah engkau mendengar apa yang dikatakannya?" kaya Ummu Misthah. � �Memangnya apa yang telah dikatakannya?" selidikku. Lalu ia pun m enceritakan tuduhan ahlul ifki terhadap diriku. Mendengar ceritanya itu, sa kitku bertambah parah dari yang sebelumnya.

Ketika aku sampai di rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan mengucapkan salam kemudian berkata, "Bagaimana kabarmu? " Aku berkata kepada beliau, "Bolehkah aku pergi untuk mene mui kedua orang tuaku?".

Aku ingin mengecek kebenaran berita itu dari kedua orang tuaku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberiku izin, maka aku pun segera m enemui kedua orang tuaku. Aku berkata kepada ibuku, "Wahai ibunda, mengapa orang-orang membicarakannya?" Ibuku berkata, "Wahai puteriku, sabarlah. Demi Allah, jarang sekali seorang wanita cantik yang d icintai suaminya dan dimadu melainkan madu-madunya itu pasti banyak menggun jing dirinya." "Subhaanallaah, berarti orang-orang telah me mbicarakannya!" seruku.

Malam itu aku terus menangis hingga pagi, air mataku terus mengalir tanpa h enti. Aku tidak bisa tidur dan terus menangis sampai pagi.

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhum ketika wahyu te rputus. Beliau meminta pendapat mereka berdua tentang masalah perceraianku. Adapun Usamah bin Zaid mengusulkan kepada beliau agar menangguhkannya kare na ia mengetahui bersihnya isteri beliau dari tuduhan tersebut dan juga kar ena ia tahu bagaimana kecintaan mereka kepada beliau. Usamah berkata, � ��Wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui tentang keluargamu melainkan kebaikan."

Adapun 'Ali bin Abi Thalib ia berkata, "Wahai Rasulullah, j anganlah engkau dibuat sedih karenanya, masih banyak wanita-wanita lain sel ain dia. Tanyakan saja kepada budak wanitanya, niscaya ia akan membenarkanm u."

Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memanggil Barirah dan bertanya, "Hai Barirah, apakah engkau melihat sesuatu yang men curigakan pada diri 'Aisyah?" Barirah berkata, "Dem i Alla yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak pernah mel ihat sesuatu yang tercela darinya, hanya saja ia adalah seorang gadis belia yang pernah ketiduran saat menjaga adonan roti milik keluarganya, lalu dat anglah kambing memakannya."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit dan meminta pembel aan dari tuduhan 'Abdullah bin Ubay bin Salul. Beliau berkata di at as mimbar, "Siapakah yang sudi membelaku dari tuduhan seorang laki- laki yang telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui tent ang keluargaku kecuali kebaikan. Dan mereka juga menuduh seorang laki-laki yang sepanjang pengetahuanku adalah orang baik-baik, ia tidaklah datang men emui keluargaku kecuali bersamaku."

Maka, bangkitlah Sa'ad bin Mu'adz al-Anshari radhiyallahu 'anh dan berkata, "Aku akan membelamu wahai Rasulullah, jik a orang ini berasal dari suku Aus, maka akan kami penggal kepalanya, jika o rang itu berasal dari saudara kami suku Khazraj, silahkan perintahkan kami untuk melakukan tindakan terhadapnya."

Bangkitlah Sa'ad bin 'Ubadah, ia adalah pemimpin suku Khazr aj, ia adalah seorang laki-laki shalih, akan tetapi saat itu sentimennya ba ngkit, ia berkata kepada Sa'ad bin Mu'adz, "Engkau dusta, demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak sanggup membunuh nya, kalaulah orang itu dari sukumu tentu engkau tidak akan mau ia dibunuh. "

Bangkitlah Usaid bin Hudhair radhiyallahu 'anh, ia adalah keponakan Sa'ad bin Mu'adz dan berkata kepada Sa'ad bin � ��Ubadah, "Engkaulah yang dusta, demi Allah, kami akan membunuh nya, engkau munafik dan membela seorang munafik."

Maka ributlah kedua suku Aus dan Khazraj hingga nyaris terjadi baku hantam, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas mimbar. Beliau berusaha menenangkan mereka hingga akhirnya mereka diam dan Rasulullah pun diam.

Hari itu aku terus menangis, air mataku terus berlinang tanpa henti dan aku tidak bisa tidur. Kedua orang tuaku mengkhawatirkan tangisanku itu dapat m embelah jantungku.

Ketika keduanya duduk di sisiku sementara aku terus menangis, tiba-tiba dat anglah seorang wanita Anshar. Aku izinkan ia masuk. Ia duduk menangis bersa maku. Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang, beliau mengucapkan salam kemudian duduk. Beliau belum pernah duduk bersamaku semenjak tuduhan terhadap diriku mencua t ke permukaan. Sudah sebulan lamanya wahyu tidak turun kepada beliau tenta ng aksus yang menimpaku. Beliau mengucapkan tasyahhud, kemudian berkata, "Ammaa ba'du, hai 'Aisyah telah sampai kepadaku ber ita begini dan begitu tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah, maka Alla h pasti menurunkan wahyu yang membebaskan dirimu dari tuduhan. Namun, jika engkau telah melakukan perbuatan dosa, maka mohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosan ya lalu bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya."

Setelah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengutarakan hal itu, air mataku berhenti hingga tidak setetespun mengalir. Aku berkata kepada ay ahku, "Jawablah perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!" Ia berkata, "Demi Allah, aku tidak tahu harus ber kata apa kepada Rasulullah."

Aku berkata kepada ibuku, "Jawablah perkataan Rasulullah shallallah u 'alaihi wa sallam!" Ibuku berkata, "Demi Allah, a ku tidak tahu harus berkata apa kepada Rasulullah."

Aku hanya seorang gadis yang masih muda belia, aku tidak banyak membaca aya t-ayat Al-Quran. Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa kalian telah mendengar ceritanya hingga merasuk ke dalam jiwa kalian dan kalian membenarkannya. Ka laulah aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah, Allah Maha Tahu bahwa aku tidak bersalah, tentu kalian tidak akan mempercayaiku. Sekiranya aku mengakui tuduhan itu, Allah Maha Tahu aku tidak bersalah, tentu kalian akan mempercayainya. Demi Allah, aku tidak menemui perumpamaan diriku kecua li seperti apa yang dikatakan oleh Ya'qub ayah Nabi Yusuf, � �Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (QS. Yusuf : 18).

Kemudian, aku pergi dan berbaring di atas pembaringanku. Demi Allah, aku ya kin diriku tidak bersalah dan bahwasannya Allah akan menurunkan wahyu yang membebaskan diriku dari tuduhan. Akan tetapi, sama sekali aku tidak menyang ka kalau akan turun wahyu yang akan terus dibaca berkaitan dengan diriku. S ungguh masalah diriku ini terlalu kecil untuk Allah sebutkan dalam wahyu-Ny a yang akan terus dibaca. Aku hanya berharap Rasulullah shallallahu � �alaihi wa sallam melihat dalam mimpinya bahwa Allah membebaskan diriku d ari tuduhan. Demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam t idak berkeinginan membuka majelis dan tidak seorangpun dari Ahlul Bait yang keluar hingga Allah menurunkan wahyu kepada nabi-Nya. Beliaupun merasakan kesusahan seperti saat biasanya beliau menerima wahyu, bahkan keringat beli au bercucuran laksana mutiara padahal saat itu musim dingin, karena beratny a perkataan yang diturunkan kepada beliau. Lalu hilanglah kesusahan itu dar i beliau, lalu beliau tersenyum. Kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah , "Sambutlah kabar gembira hai 'Aisyah, Allah telah menurun kan wahyu yang membebaskan dirimu." Ibuku berkata, "Bangkit dan sambutlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." A ku berkata, "Demi Allah, aku tidak akan bangkit menyambutnya dan ak u tidak akan memuji kecuali Allah 'Aza wa Jalla semata. Dia-lah yan g telah menurunkan wahyu yang membebaskan diriku." Lalu Allah menur unkan ayat-Nya, "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohon g itu adalah dari golonganmu juga," sebanyak sepuluh ayat. Setelah Allah menurunkan ayat berisi pembebasan diriku, Abu Bakar radhiyallahu � ��anh, yang dahulu memberikan nafkah untuk Misthah bin Utsatsah karena masih kerabat dan fakir, berkata, "Demi Allah, aku tidak akan membe rikan nafkah lagi kepadanya selama-lamanya setelah ia menuduh 'Aisy ah. Lalu Allah menurunkan ayat-Nya, "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereak (t idak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang mi skin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? D an Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nuur: 22).

Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku ingin Allah mengampuni diriku. " Beliau kembali memberikan nafkah kepada Misthah seperti dahulu ya ng pernah diberikannya. Kemudian Abu Bakar berkata, Demi Allah, akku tidak akan mencabut nafkah tersebut selama-lamanya."

'Aisyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy, salah seorang isteri Nab i, tentang diriku, Rasul berkata, 'Hai Zainab, apa yang engkau keta hui dan dengar tentangnya?' Ia menjawab, 'Wahai Rasulullah, aku menjada pendengaranku dan penglihatanku.Demi Allah, aku tidak mengetah ui tentangnya kecuali kebaikan.'" 'Aisyah radhiyal lahu 'anha berkata, "Hanya dialah satu-satunya dari isteri Rasulullah yang membela diriku, lalu Allah memelihara dirinya dengan sifat wara'. Namun saudarany, yakni Hamnah binti Jahsy terus membantah di rinya hingga ia termasuk dalam golongan orang yang celaka."

Ibnu Syihab berkata, "Inilah akhir kisah tentang peristiwa ahlul if ki." Kisah ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka dari hadits az-Zuhri.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata, "Setelah ayat yang berisi tentang pembebasan diriku turun, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam b angkit dan menyampaikannya serta membacanya. Ketika turun perintah pelaksan aan hukuman terhadap dua orang laki-laki dan seorang wanita, mereka pun mel aksanakan hukuman tersebut. Riwayat ini dikeluarkan oleh penulis kitab Suna n yang empat. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan."

Dalam riwayat Abu Daud disebutkan nama-nama mereka yang dihukum, yaitu Hass an bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah dan Hamnah binti Jahsy. Wallahu a� �lam.

Firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong, " yakni berita dusta dan fitnah. Firman Allah, "Segolongan dari kamu juga," yakni dari jama'ah kaum muslimin. Firman A llah, "Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagimu," hai keluarga Abu Bakar. Firman Allah, "Bahkan ia adalah baik bagim u," yakni di dunia dan di akhirat. Lisan kebenaran di dunia dan der ajat yang tinggi di akhirat serta menampakkan kemuliaan bagi mereka dengan perhatian yang Allah berikan kkhusus terhadap 'Aisyah, Ummul Mukmin in radhiyallahu 'anha, sehingga Allah menurunkan ayat pembebasan di rinya dalam Al-Quran Al-'Azhim. Oleh karena itu, ketika 'Ab dullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma datang menemuinya, s aat itu 'Aisyah tengah menghadapi kematian, Ibnu 'Abbas ber kata kepadanya, "Sambutlah kabar gembira, sesungguhnya engkau adala h isteri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau sangat me ncintaimu, beliau tidak menikahi gadis selain dirimu dan telah turun pembeb asan dirimu langsung dari langit."

Firman Allah, "Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya," yakni, setiap orang yang berbicara tentan g masalah ini dan menuduh Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu � ��anha dengan tuduhan keji, berhak mendapat balasan berupa adzab yang b esar. Firman Allah, "Dan siapa diantara mereka yang mengambil bahag ian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu," ada yang meng atakan, "Maksudnya adalah, yang memulainya." Ada yang menga takan, "Maksudnya adalah, yang mengumpulakan dan menyebarkannya.� ��

Firman Allah, "Baginya adzab yang besar," atas perbuatannya itu. Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa orang yang dimaksud adalah � ��Abdullah bin Ubay bin Salul, semoga Allah memburukkan dirinya dan mel aknatnya. Dialah yang memulai tuduhan tersebut. Demikian dikatakan oleh Muj ahid dan ulama lainnya. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Hassan bin Tsabit, namun pendapat ini sangat asing. Kalaulah bukan kareana adanya indikasi dalam Shahih al-Bukhari atas perkara yang menunjukkan kepa da hal itu, namun yang jelas indikasi tersebut tidak banyak membawa faidah, karena Hassan bin Tsabit adalah seorang Sahabat Nabi yang memiliki keutama an dan fadhilah. Dan sebaik-baik keutamaannya adalah ia pernah membela Rasu lullah shallallahu 'alaihi wa sallam melalui sya'ir-sya� ��irnya. Dialah yang disebutkan oleh Rasulullah, "Lawanlah mere ka, sesungguhnya Malaikat Jibril bersamamu." [3]

Footnote:

[1] Demikian yang tertulis dalam naskah al-Amiriyah, dalam kitab al-Baghawi tertulis: "Dari 'Aisyah

Radhiyallahu 'anha.

[2] Dalam kitab al-Baghawi tertulis Ibnul Muththalib.

[3] Muttafaq 'alaih

Sumber : Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, hlm 15-21, cet. Pustaka Imam Asy-Syafi 'i.

Powered by Sinyal Kuat Indosat from My Nokia Phone®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar