Tafadhol..
Aku Bukan Yang Pertama<http://majalahsakinah.com/2010/11/02/aku-bukan-yang-pertama/>
Posted: 01 Nov 2010 06:22 PM PDT
*Assalamualaikum* ya ustadz….
Ana tertarik dengan tulisan tulisan antum sejak dulu, dan akhirnya Ana
terpaksa pula harus mencurahkan semua hal yang menimpa Ana beberapa bulan
terakhir ini.
Empat bulan lalu Ana menikahi seorang gadis perawan dan sebelum menikah Ana
pernah mempertanyakan kesuciannya. Dia bersumpah masih perawan. Namun
ternyata Ana mendapati dia tidak lagi perawan. Ana diam dan tidak
menghiraukannya pada saat malam pertama, karena alasan ingin menguji
kejujurannya. Dua bulan kemudian Ana mendapati sms di ponselnya yang berasal
dari kiriman mantan pacarnya. Kesempatan itu Ana jadikan jalan untuk
mempertanyakan lebih jauh tentang kejujurannya. Tanpa diduga, dia jujur
mengakui semua perbuatannya tempo dulu. Ketika Ana bilang kenapa tidak jujur
padahal pada saat bertanya Ana jelas-jelas bilang, "Kamu perawan atau tidak
itu bukan masalah tapi aku ingin kejujuran kamu…." Dia cuma jawab, "Maaf,
aku takut kamu ninggalin aku…."
Pertanyaan Ana: Apa yang harus Ana lakukan sekarang, sebab kebohongan yang
dia lakukan telah menyebabkan Ana "sakit" secara psikis, kadang Ana jijik
jika terbayang dia diperawani orang lain.
Lalu bagaimana menurut pandangan hukum Islam tentang istri yang telah
membohongi suaminya tentang masalah keperawanan?
Penting bagi Ana ya ustadz.., mohon kiranya ustadz dapat segera menjawab
masalah Ana.
Terima kasih, *wassalamu'alaikum*.
*Hamba Allah-bumi Allah*
*Wa 'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh*
***
*Sekali lagi, kita menemukan sebuah hikmah dari sabda Nabi –shollallohu
'alaihi wa sallam–,
تُنْكًحُ اْلمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالهِاَ
وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
*"Wanita itu dinikahi karena empat, karena kecantikannya, karena
keturunannya, karena kekayaannya dan karena agamanya. Menanglah dengan
memilih agamanya, maka "taribat yadaaka" (dirimu akan selamat dari
cela)."* [Arti
"Taribat Yadaak", adalah bersentuhan dengan bumi. Itu merupakan bahasan
kiasan yang artinya: membutuhkan. Ungkapan itu berwujud berita, tetapi
artinya sebagai perintah. Lihat Fathul Bari IX : 38 - 39]
Agama menegur kita agar memilih wanita karena "agamanya", hanya dengan itu
kita selamat. Kejadian bahwa seorang perempuan berdusta dengan
keperawanannya demi meraih cinta seorang pria adalah gambaran buruk dari
kualitas agamanya. Karena buruk agamanya, maka wajar bila ujungnya adalah
derita.
Akhi (saudaraku-red), mari kita renungi sama-sama persoalan yang Akhi hadapi
dengan hati dingin, pikiran tenang dan pencermatan terhadap realitas ajaran
Islam secara teduh. Gambaran kebenaran itu niscaya akan terpapar jelas di
depan mata kita bersama.
Akhi, bila syarat dan rukun menikah telah terpenuhi, pernikahan sah secara
hukum syariat. Maka, pernikahan seorang muslim dengan muslimah yang pernah
berzina sekalipun, hukumnya sah secara syariat, di luar apakah secara
kepantasan diperbolehkan atau tidak. Yang terpenting, secara hukum
pernikahan kalian berdua sah sebagai pasutri. Tapi tersisa persoalan lain
yang klasik dalam soal akad atau transaksi, yaitu kecurangan.
Akad pernikahan itu identik dengan transaksi. Dua orang yang bertransaksi
secara sah, dan selesai melakukan transaksi, tidak lantas transaksi itu bisa
berjalan mulus, bila terjadi kecurangan salah satu pihak. Bila kecurangan
itu terbukti, seperti adanya cacat barang yang disembunyikan atau lazim
disebut sebagai tadlis, maka pihak lain berhak melakukan pembatalan atas
transaksi tersebut. Namun bila ia rela, transaksi bisa terus berlanjut, dan
pihak yang bersalah harus bertaubat kepada Allah. Sederhana bukan?
Ya. Dalam ukuran hukum, memang sesederhana itu. Tapi menikah bukanlah
berdagang. Menikah adalah upaya mempersatukan dua sosok berbeda jenis untuk
membangun sebuah rumah tangga yang bahagia (samara).
Maka, saya sering menegaskan, jangan mengukur segala hukum hanya dengan sah
atau tidak sah saja. Menikahi wanita ahli kitab, Nasrani atau Yahudi secara
hukum juga sah, tapi siapa pula yang ingin menanggung akibatnya kalau juga
bukan karena benar-benar terpaksa? Sedangkan menikahi wanita muslimah saja
tetap harus dengan menimbang kualitas agamanya, apalagi dengan non muslimah.
Itu hanya sekadar contoh, hukum tak boleh dipandang hanya dari sudut sah
atau tidak sah saja. Apalagi di balik pernikahan ada sisi-sisi lain sebagai
konsekuensinya: kebahagiaan rumah tangga dan lain sebagainya. Dengan siapa
kita menikah, akan sangat menentukan hasil yang kita capai di berbagai sisi
interaktif tersebut.
Sekarang, akad itu sudah terikat, ini yang menjadi inti persoalannya. Maka
yang wajib Akhi lakukan adalah meneliti secara cermat, apakah istri Akhi
betul-betul telah bertaubat. Jangan tanyakan itu, karena yang dibutuhkan
bukanlah jawaban lisan, cukup perhatikan kehidupan sehari-harinya. Bila
belum terlihat, cobalah dekatkan dia dengan nilai-nilai agama, ajarkan dia
untuk menjaga shalat, rajin membaca Al-Quran –bila sudah bisa–, ajarkan
ibadah-ibadah sunnah.
Bila ia menyambut baik bimbingan tersebut, pejamkanlah mata, tekan rasa
sakit dalam hati, karena taubat itu menghapus segala kekurangan di masa
lampau. Bukankah sebagian para sahabat Nabi –shollallohu 'alaih wa sallam–
juga menikah beberapa wanita muslimah yang sebelum Islam pernah menjadi
pelacur di kompleks pelacuran milik Abdullah bin Ubayy bin Salul yang
tersohor itu? Bila mereka memikirkan bagaimana istri-istri mereka dahulu,
tentu pahit. Tapi, apalah gunanya menyesali dan membayangkan masa lampau?
Taubat sudah menghapuskan segalanya.
Bila rasa sesal dan kecewa itu masih mengendap dalam hati –dan itu
sangatlah manusiawi–, maka pandanglah itu sebagai pelajaran dari Allah untuk
menunjukkan keluhuran agama-Nya, bahwa perintah Allah agar kita mengutamakan
bagusnya agama calon pasangan kita adalah kebenaran mutlak yang tak dapat
kita sangkal. Maka, jangan buat penyesalan itu menjadi tak berguna. Jadikan
itu sebagai batu loncatan menuju karunia Allah yang masih terbentang di
depan mata. Kuncinya sangatlah sederhana.
Banyak orang berpikir, istri shalihah harus selamanya berupa anugerah paket
wanita muslimah yang sudah siap guna. Artinya, ketika menikah sudah ia
dapati calon istrinya sebagai wanita shalihah. Tapi persoalannya, tak
selamanya kita memperoleh semua yang kita sukai, maka belajarlah untuk
menyukai semua yang kita peroleh.
Bila tak mendapatkan barang siap guna, kenapa tak berusaha mencetak barang
itu sendiri dengan kemampuan kita? Istri shalihah bisa ditempa dalam rumah
kita sendiri. Betapa banyak wanita yang tampak biasa-biasa saja sebelum
menikah, atau bahkan memiliki setumpuk masa lalu yang kelam soal hubungan
antara dirinya dengan Allah, tapi setelah menikah ia mampu menempa diri
menjadi wanita shalihah.
Maka, berbasis pada perintah Allah,
"Dan bertolong-tolonganlah atas dasar kebajikan dan ketakwaan, jangan
bertolong-tolongan atas dasar dosa dan pelanggaran…"
Cobalah untuk membina diri dan bersamaan dengan itu membina istri menjadi
wanita yang shalihah. Ciptakan nuansa taubat dalam diri kalian berdua.
Basahi malam kalian dengan air mata taubat dan penyesalan di hadapan-Nya.
Mulailah membuka jalan baru menuju kehidupan yang lebih tertata, terbina,
dan lebih mampu mengangkat harkat kalian berdua menjadi insan-insan yang
sungguh-sungguh bertakwa.
Itu bila Akhi memiliki cukup motivasi dan sokongan moral serta ketabahan
untuk mencari jalan yang terbaik. Semua itu bergantung pada kalian sendiri.
Bila tidak, Akhi tentu memiliki pilihan lain untuk berpisah, karena
"kecurangan" itu sudah bisa menjadi alasan sah untuk membatalkan tali
pernikahan kalian berdua. Tapi –bagi saya pribadi–, kalau kalian berdua
masih bisa menempuh jalan untuk meraih kebahagiaan surga bersama-sama,
kenapa tak dilakukan?
Akhi berhak untuk sakit hati, tapi kenapa tak memilih memaafkan? Bukankah
Abu Bakar pernah merasa begitu sakit hati karena telah menolong seorang
muslim, tapi si muslim malah ikut andil menfitnah putrinya? Bukan sembarang
putri, tapi putri yang sudah menjadi salah seorang Ummahatul Mukminin,
Aisyah –rodhiyallohu 'anha–. Tapi, Al Quran mengajarkan beliau untuk
memaafkannya, tak usah tindakan orang itu membuatnya memutuskan santunan
yang selama ini ia berikan kepadanya.
Akhi, memaafkan itu sungguh berat, kita menyadari itu, tapi nilainya di sisi
Allah sungguh besar. Ada sebuah riwayat menceritakan tentang kisah seorang
pria, sebut saja A, yang meminjam uang kepada B. Keduanya wafat, dan si A
belum membayar hutangnya. Tentu saja, secara hukum, hutang itu akan
dipertanggungjawabkan di jembatan ash-Shirath kelak. Di jembatan itu, A akan
dihukum karena hutangnya. Lalu Allah menawarkan kepada B sebuah keindahan
lain di surga yang akan dia masuki. Sebuah rumah indah, jalan-jalan
berbantalkan batu-batu mulia yang memesona. Ia bertanya, "Untuk siapakah
ini, wahai Rabb?"
Allah berfirman, "Untuk muslim yang memaafkan saudaranya…"
"Ya Rabbi, kumaafkan kesalahan A, kuputihkan semua hutangnya…"
Dan, keduanya pun masuk ke dalam Surga. A masuk surga karena ia dimaafkan
oleh B, sementara B masuk surga dan karena maaf yang ia berikan, ia diberi
tambahan kenikmatan di surga nanti! Duhai, betapa indahnya bukan?
Akhi, saran saya, maafkanlah kesalahan istri Akhi itu, bimbing ia untuk
bertaubat, dan raih surga bersama-sama. Kalau ia enggan bertaubat, barulah
Akhi mengambil langkah terbaik…, berpisah dengannya. Allah sudah menyiapkan
jodoh yang terbaik untuk Akhi… Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa
jama'a bainakumaa fi khair. (***)
Jawaban oleh Ust. Abu Umar Basyir, Rubrik Konsultasi Keluarga, Majalah Nikah
Sakinah, Vol.9 No.7
-------------------------------------
" (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang
duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir ".
(QS: Qaaf : 17/18)
---------------------------------------
"Barangsiapa yg mengajak org lain kpd kebaikan maka baginya pahala semua org
yg mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun." (HR Muslim)
--------------------------------------
"Ya Allah, Rahmat-Mu aku harapkan, maka janganlah Engkau serahkan (urusan)
ku kepada diriku walau sekejap mata, perbaikilah semua urusanku, tiada ilah
selain Engkau." (HR Abu Daud dgn sanad yg sohih)
"Demi Allah,sekiranya Allah memberikan petunjuk kepada seseorang melalui dirimu, sungguh hal itu lebih baik (berharga) bagimu daripada memiliki unta merah."(HR. Bukhori).
Sent from my Nokia® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar