Selasa, 10 November 2009

Lihatlah, Siapa Mahrammu (2)

Pada artikel mahram sebelumnya, telah dibahas siapa saja mahram bagi wanita, kali ini akan diterangkan siapa saja yang bukan termasuk mahram bagi wanita.

Mengenali siapa saja orang yang bukan termasuk mahram kita sama pentingnya dengan mengenali siapa saja yang termasuk mahram kita. Karena dalam praktek di kehidupan sehari-hari, banyak kita jumpai beberapa anggapan keliru mengenai mahram bagi wanita.

Hal ini akan berakibat fatal, karena kaum wanita akan bergaul dengan orang-orang yang bukan mahramnya dengan adab pergaulan ketika dia sedang bersama dengan mahramnya, seperti membuka aurat, khalwat, safar, dan lainnya.

Laki-laki yang Bukan Mahram bagi Wanita

1. Ayah Dan Anak Angkat

Hukum pengangkatan anak telah dihapuskan dalam Islam sehingga seseorang tidak dapat mengangkat anak kemudian dinasabkan kepada dirinya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Qs. Al-Ahzab: 4)

Anak angkat tersebut juga tidak dapat menjadi ahli warisnya, karena pada hakikatnya anak tersebut dinilai sebagai orang lain.

2. Sepupu (Anak paman/bibi dari ayah maupun dari ibu)

Allah Ta’ala berfirman tentang hal ini setelah menyebutkan tentang macam-macam orang yang haram dinikahi, artinya, “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian…” (Qs. An-Nisa’: 24)

Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam menjelaskan ayat tersebut, “Hal itu seperti anak paman/bibi (dari ayah) dan anak paman/bibi (dari ibu).” (Taisir Karimir Rohman fii Kalamil Mannan hal 138-139)

3. Saudara Ipar

Hal ini berdasarkan pada keterangan hadits, “Waspadailah oleh kalian, menemui para wanita,” Berkatalah seseorang dari Anshor, “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu kalau dia adalah Al-Hamwu (kerabat suami)?” Rasulullah bersabda, “Al-Hamwu adalah merupakan kematian.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172)

Imam Al-Baghawi berkata, “Yang dimaksud dalam hadits ini adalah saudara laki-laki suami (ipar) karena dia tidak termasuk mahram bagi si istri. Dan seandainya yang dimaksud adalah mertua padahal ia termasuk mahram, lantas bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang bukan mahram?” Lanjutnya, “Maksudnya, waspadalah terhadap saudara ipar sebagaimana engkau waspada dari kematian.”

4. Mahram titipan

Kebiasaan yang sering terjadi adalah apabila ada seorang wanita yang akan bepergian jauh (safar) seperti berangkat umrah, dia mengangkat seorang lelaki yang ‘berlakon’ sebagai mahram sementaranya. Ini merupakan musibah yang sangat besar.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menilai dalam Hajjatun Nabi (hal 108), “Ini termasuk bid’ah yang sangat keji, sebab tidak samar lagi padanya terdapat hiyal (penipuan) terhadap syari’at. Dan merupakan tangga kemaksiatan.”

Hukum Wanita dengan Mahramnya

Beberapa di antaranya ialah:

1.Tidak boleh menikah dengan mahramnya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nisa’ ayat 22-23)

2. Mahram boleh menjadi wali pernikahan.

Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan, riwayat dari Abi Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah nikah kecuali ada wali.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Hibban. Hadits shahih)

Namun tidak semua mahram berhak menjadi wali pernikahan, begitu juga sebaliknya, tidak semua wali harus dari mahramnya. Contoh wali yang bukan dari mahram ialah seperti anak laki-laki paman (saudara sepupu laki-laki), orang yang telah memerdekakannya, sulthan. Adapun mahram yang tidak bisa menjadi wali ialah seperti mahram karena mushoharoh (pernikahan).

3. Wanita tidak boleh safar (bepergian jauh) kecuali dengan mahramnya.

Banyak sekali hadits tentang larangan safar bagi wanita tanpa mahramnya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman pada kepda Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar sehari semalam tidak bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Salim Al-Hilali berkata, “Para ulama berpendapat bahwa batasan hari dalam hadits di atas tidak dimaksud untuk batasan minimal.”

4. Tidak boleh khalwat (berdua-duaan), kecuali bersama mahramnya.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, juga jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahramnya.” Seorang laki-laki berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya pergi haji, padahal saya ikut dalam sebuah peperangan.” Maka Rasulullah menjawab, “Berangkatlah untuk berhaji dengan istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Tidak boleh menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada mahramnya

6. Tidak boleh berjabat tangan kecuali dengan mahramnya

Di zaman sekarang ini, jabat tangan dengan wanita sudah manjadi hal yang lumrah, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengancam keras pelakunya.

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala orang ditusuk jarum dari besi itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Rauyani. Hadits Hasan)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau menjawab, “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, baik wanita tersebut baik wanita tersebut masih muda ataukah sudah tua renta, baik lelaki yang berjabat tangan tersebut masih muda ataukah sudah tua renta, karena berjabat tangan ini bisa menimbulkan fitnah. Juga tidak dibedakan apakah jabat tangan ini ada pembatasnya atau tidak (langsung bersentuhan dengan kulit ataupun dilapisi dengan kain), hal ini dikarenakan keumuman dalil (larangan jabat tangan) juga untuk mencegah timbulnya fitnah.” (Fatawa Islamiyah)

Wahai saudariku muslimah, perhatikanlah dengan baik dan benar masalah mahram ini. Karena dengannya engkau tahu bagaimana beradab dengan mereka sehingga terjagalah kehormatanmu sebagai seorang muslimah

Ditulis ulang dari artikel Mahrom bagi Wanita 2 (Ahmad Sabiq bin ‘Abdul Lathif), majalah Al Furqon, Edisi 4/ II, Dzulqa’idah 1423 H, hal 29-31 oleh Ummu Shofiyyah

***

Artikel muslimah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar