Ust. Aunur Rofiq Ghufron
(Majalah Al – Mawaddah edisi ke 4 tahun ke 2 halaman 25 – 29)
Anak adalah karunia dari Alloh subhanahu wa ta'ala. Orang tua yang dikaruniai anak tentu akan merasa gembira, dan akan bersedih bila tidak memiliki anak.
Selain sebagai karunia, anak juga termasuk amanat dari Alloh subhanahu wa ta'ala agar dididik dan dipelihara. Sehingga apabila akhlak anak baik, orang tua pun ikut senang dan mendapat pahala; sebaliknya bila akhlaknya jelek, bukan hanya anak saja yang celaka, orang tua pun juga ikut sengsara. Orang tua bertanggung jawab penuh dalam mendidik anak-anaknya, terlebih lagi saat menjelang usia baligh atau ketika sudah muncul rasa suka kepada lawan jenisnya. Karena itu, orang tua harus banyak tahu tingkah laku dan gerak-gerik putra putrinya.
Secara asal, anak itu lahir dalam keadaan fithroh, bersih dari dosa, lalu Alloh subhanahu wa ta'ala memberi amanat kepada orang tua untuk memelihara fithrohnya tersebut. Dari Abu Huroiroh Radhiyalahu 'anhu Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fithroh. Lalu kedua orang tuanyalah ynag menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi; sebagaimana binatang ternak yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihatnya cacat hidung dan telinganya?" (HR. Bukhori 5/182)
diantara fithroh seorang manusia adalah butuh kepada pasangan hidup dari lawan jenisnya. Maka menikah, sebagaimana yang disyari'atkan Islam, merupakan jawaban atas tuntutan fithroh tersebut.
ANJURAN BERSEGERA MENIKAHKAN ANAK
Menikah termasuk bagian dari kebutuhan hidup manusia yang pokok setelah menginjak usia baligh dan memiliki keinginan terhadap lawan jenis. Sebagaimana hal ini juga dirasakan oleh para orang tua tatkala mereka masih muda. Dimana dan kapan saja yang diingat selalu lawan jenisnya.
Lalu, bagaimana perasaan kita sebagai orang tua yang apabila pada masa muda kita ingin menikah, namun dihalang-halangi oleh orang tua? Tentu kita akan merasa menderita, yang bisa jadi dampaknya kan berpengaruh terhadap aktivitas ibadah kita, lain halnya bila sudah menikah. Sebab, sebagaimana telah disinggung dimuka, menikah adalah tuntutan fithroh kita sebagai manusia.
Nah, karena tuntutan fithroh inilah kita sebagai orang tua hendaknya segera menikahkan putra putri kita, karena Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS an-Nur [24]: 32)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "disunnahkan agar segera menikah dengan wanita yang masih muda. Itulah tujuan menikah ynag sebenarnya, karena dia yang paling nikmat dan lebih sedap bau mulutnya, lebih menarik, paling indah pergaulannya, lucu bicaranya, cantik wajahnya, lembut kulitnya, menarik suami untuk bersikap lembut kepadanya" (Shohih Muslim, Syarh an-Nawawi 5/70)
Segera menikahkan anak merupakan bentuk belas kasih orang tua kepada anaknya. Dan orang tua yang mempunyai belas kasihan kepada anaknya, niscaya akan dibelas kasihani oleh anaknya kelak. Selain itu, dengan segera menikahkan anak, akan meringankan beban dan menenangkan jiwa anak, membendung anak berbuat zina dan maksiat lainnya.
JANGAN BIARKAN ANAK BERPACARAN
Pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya sebelum menikah. Biasanya hal ini banyak dilakukan oleh sesama teman sekelas, atau sesama teman sekerja, atau lainnya ketika saling jatuh cinta dan tidak melalui jalur syari'at Islam. Kebiasaan yang mereka lakukan pada awalnya pandang-memandang, lalu sapa-menyapa, berlanjut surat menyurat atau SMS, tukar menukar foto, lewat telepon dan bertatap muka, menyepi, sentuh menyentuh, sampai pada puncaknya terjadi zina farji – Naudzu billahi min dzalik. Itu semua hukumnya haram berdasarkan al Qur'an dan hadist yang shohih.
Terkadang orang tua menganggap perkara ini biasa-biasa saja, sebagai sebuah persahabatan, atau bahkan senang bila anaknya melakukan itu dirumahnya, senang bila melihat anaknya dijemput laki-laki berkendaraan mobil atau sepeda motor. Padahal bila kita tilik ulang, sungguh hal itu amat besar dosa dan akibatnya. Karena itulah orang tua harus waspada dari tingkah laku anaknya, karena bila anak terjatuh dalam kemungkaran bisa jadi orang tua pun akan ikut merasakan siksaannya.(Baca QS al-Anfal [8]: 25)
BILAKAH PUTRA PUTRI KITA SIAP MENIKAH
Orang tua harus mengetahui gelagat anak-anaknya. Apakah mereka sudah siap menikah ataukah belum. Jika kita memiliki anak laki-laki yang sudah nampak keinginannya untuk menikah, sering berhubungan dengan wanita; maka kan lebih selamat jika kita segera menikahkannya agar dia tidak terjatuh ke dalam perbuatan zina. Karena bila dinikahkan setelah dia menghamili seorang wanita, maka hal itu akan lebih hina dan akan merusak kehormatan orang tua.
Begitu pula bila dia sudah siap menikah, sudah bisa bekerja walaupun belum selesai kuliah, maka alangkah baiknya bila segera dinikahkan. Jika dia sudah mampu menikah dengan persyaratan diatas (siap menikah dan sudah bekerja – red), maka yang lebih utama adalah menikah daripada melanjutkan kuliah. Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda " Wahai pemuda, apabila kalian telah mampu menikah maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu benteng baginya" (HR. Bukhori: 4677 dari Sahabat Abdulloh Radhiyalahu 'anhu)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "bahwa yang dimaksud mampu menikah ialah mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah." (Fathul Bari 14/293)
Orang tua boleh melarang putranya sementara untuk tidak menikah bila anaknya belum bekerja sehingga ia mendapat pekerjaan. Karena memang sebagai seorang suami, laki-laki wajib mencarikan nafkah untuk istri dan keluarganya. (lihat ath-Tholaq ayat 7 dan an Nisa' ayat 34)
Dan hendaklah anak yang belum mampu menikah dianjurkan untuk menahan dan memelihara dirinya sehingga Alloh subhanahu wa ta'ala memberinya kemampuan menikah. (lihat surat an-Nur ayat 33)
Lain halnya jika anak kita itu seorang wanita. Apabila dia sudah dewasa dan memiliki keinginan untuk menikah yang mana hal itu bisa dilihat dari gerak-geriknya setiap hari dan pergaulannya dengan pria, atau ada laki-laki yang sudah meminangnya sedangkan laki-laki itu orang yang baik aqidah dan akhlaknya, dan putri kita ridho dengannya; maka hendaklah segera dinikahkan. Sebab, anak wanita itu lebih utama untuk cepat dinikahkan daripada melanjutkan belajar. Janganlah menghalangi putri kita untuk segera menikah meski kuliahnya belum selesai. Karena hanya dengan jalan inilah putri kita akan selamat dari perbuatan jahat.
Abu Hatim al-Muzani Radhiyalahu 'anhu berkata: Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Jika datang kepadamu seorang yang kamu senangi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah (putrimu) dengannya. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan dipermukaan bumi ini. (HR Tirmidzi: 1005, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Mukhtashor Irwaul Gholil 1/370)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah tatkala ditanya : "bagaimana hukum orang tua yang menghalangi putrinya yang sudah kuat (keinginannya) untuk menikah tetapi mereka masih menyuruh putrinya melanjutkan kuliah?"
Maka beliau menjawab:" tidak diragukan lagi bahwa orang tuamu yang melarangmu (menikah padahal kamu) sudah siap menikah hukumnya adalah haram. Sebab, menikah itu lebih utama dari pada menuntut ilmu, dan juga karena menikah itu tidak menghalangi untuk menuntut ilmu, bahkan bisa ditempuh keduanya. Jika kondisimu demikian wahai Ukhti! Engkau bisa mengadu ke pengadilan agama dan menyampaikan perkara tersebut, lalu tunggulah keputusannya." (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin 2/754)
KESALAHAN ORANG TUA
Dari keterangan diatas diketahui bahwa merupakan sebuah kesalahan orang tua (yaitu) melarang anak laki-lakinya menikah hanya karena belum selesai kuliah, harus punya rumah dulu, harus menyelesaikan pendidikan adiknya dulu, menunggu kakaknya menikah dulu, menanti bila adik perempuannya sudah menikah, harus jadi pegawai negeri dulu, atau harus mencari orang yang sama pendidikannya, sama jabatan atau kedudukannya, sama suku dan adatnya.
Demikian juga merupakan kesalahan orang tua adalah melarang anak perempuannya menikah karena belum bekerja, belum selesai kuliah, kakaknya belum belum menikah, calonnya bukan orang kaya, atau bukan dari keturunan yang terkenal. Ini semua bila diharuskan maka akan menelantarkan anak dan menimbulkan masalah di dalam keluarga, bahkan boleh jadi menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
TUJUAN MENIKAHKAN ANAK
Ketika orang tua ingin menikahkan putra putrinya, hendaknya mereka melurusakan niat. Karena niat sangatlah penting untuk menata kelanjutan berkeluarga. Hendaknya diniatkan untuk mencari menantu yang ahli ibadah dan beraqidah benar karena Alloh subhanahu wa ta'ala semata agar terjalin kehidupan yang mawaddah dan penuh rohmat. (lihat surat ar-Rum ayat 21)
Hendaknya diniatkan untuk menjaga kehormatan diri dan anak dari perbuatan zina dan perbuatan keji lainnya sehingga mendapat pertolongan dari Alloh subhanahu wa ta'ala.
Abu Hurorioh Radhiyalahu 'anhu berkata : Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Ada tiga golongan manusia yang Alloh berhak membantu mereka, (yaitu) mujahid yang berperang karena membela agama Alloh, budak yang ingin menebus dirinya dari tuannya, dan orng yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dirinya." (HR. Tirmidzi 6/214, dihasankan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib wa Tahrib 2/192)
Janganlah menikahkan anak hanya dengan tujuan mencari menantu yang kaya dan punya kedudukan, dan gengsi bila memiliki menantu yang miskin dan mempunyai kelas sosial yang rendah.
BAGAIMANA MENIKAHKAN ANAK KITA?
Orang tua yang telah merasakan hidup berkeluarga, hendaknya menjadikan pengalaman pahit dan manisnya berkeluarga sebagai pelajaran bagi anaknya. Hendaknya menasehati anak (terutama anak wanita) sebelum menikahkannya. Sebab, secara umum Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan untuk banyak menasehati para wanita dengan sabdanya:
"Dan berilah wasiat yang baik kepada para wanita" (HR. Bukhori: 4787 dari Abu Huroiroh Radhiyalahu 'anhu)
setelah menikah hendaknya tetap dinasihati, sebagaimana Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat pun senantiasa memantau putrinya yang sudah menikah.
Jika orang tua melihat anaknya berpacaran, segeralah mengambil sikap. Bila mereka berdua sudah cocok menurut pandangan dienul (agama) Islam dan yang laki-laki juga sudah mampu menikah, maka segera nikahkan.
Akan tetapi, bila salah satunya tidak layak menurut pandangan dienul Islam maka hendaknya orang tua segera memutus hubungan keduanya dengan cara memanggil dan menasehati mereka. Jika perlu, hubungi orang tua anak yang bersangkutan agar urusannya cepat selesai, sambil memantau kesehariannya. Dan anak hendaknya menerima keputusan orang tua yang ingin menyelamatkan anaknya.
Abdulloh bin Umar Radhiyalahu 'anhu berkata: saya memiliki istri dan saya sayang kepadanya. Tetapi Umar (ayahku) membenci istriku seraya berkata : "ceraikanlah istrimu!" Maka akupun enggan menceraikannya. Kemudian Umar datang kepada Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam dan melaporkan hal itu. Lalu Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam berkata: "Ceraikanlah istrimu!" (HR. Abu Dawud 13/349 dengan sanad yang shohih)
Sebaliknya, jika orang tua menyuruh anaknya untuk memutus hubungan dengan istrinya yang shalihah maka hal itu tidak wajib ditaati. Sebab, itu berarti orang tua telah lalai dan hanya mengikuti hawa nafsunya. Namun, penolakan tersebut diucapkan dengan kata-kata yang lembut. Berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta'ala:
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas (QS. Al-Kahfi[18]:28)
Jika anak wanita sudah tiba waktunya menikah, tetapi dia belum punya pilihan, sedangkan orang tua sudah punya pilihan, maka hendaknya orang tua memanggil anaknya dan mengajaknya bermusyawarah, bukan memaksanya menerima pilihannya tersebut.
Jika anaknya janda, orang tua tidak boleh menikahkannya melainkan atas perintahnya. Dan apabila anaknya gadis maka orang tua meminta izin kepadanya; jika ia diam, berarti dia setuju dengan usulan orang tuanya. Ini semua agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelah pernikahan. Abu Huroiroh Radhiyalahu 'anhu berkata: Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali dia sendiri yang menyuruh; dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan melainkan minta izin (terlebih dahulu) kepadanya." Mereka bertanya: Wahai Rosululloh, bagaimana(tandanya bahwa) dia telah mengizinkan? Beliau berkata: "apabila dia diam." (HR. Bukhori 16/100).
Sesungguhnya Khonsa' binti Khidzam Radhiyalahu 'anha berkata: sesungguhnya ayahnya menikahkan dirinya sedangkan dia janda, lalu dia tidak menyukai suaminya. Kemudian dia datang kepada Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam, lalu beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Bukhori 21/273)
Jika orang tua mempunyai dua pilihan yang sama baiknya, maka hendaknya ditawarkan kepada putri atau putranya dari keluarga yang baik dienul Islamnya. Yang demikian itu akan membantu kelancaran hidup berkeluarga yang baik dari semua pihak insya-Alloh.
Lihatlah kisah Maryam, dia telah melahirkan anak yang sholih, Nabi Isa Alaihissalam, karena bapak dan ibunya adalah orang-orang yang sholih pula.
Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina. (QS. Maryam [19]: 28)
Jika terjadi perbedaan pendapat antara orang tua dan anak dalam memilih, sedangkan masing-masing pilihan sama baiknya; maka hendaknya orang tua mendahulukan pilihan anaknya, karena dialah yang menjalankan hidup berkeluarga dan berhak untuk menentukan pilihannya.
Orang tua hendaknya mengutamakan pilihan orang yang paling baik agama untuk anaknya. Setelah itu boleh memilih kecantikan atau ketampanannya, kekayaannya, kedudukannya atau keturunannya. Yang penting sudah jelas agamanya baik.
"Wanita itu dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya atau karena agamanya (agama Islam). Maka pilihlah wanita yang memiliki agama yang kuat, niscaya kamu akan bahagia" (HR. Bukhori : 4700)
TETAP DIDIKLAH ANAK-ANAK KITA
Sebagian anak yang baru menikah tentu masih banyak membutuhkan didikan orang tua, sebab orang tua tentu lebih banyak pengalamannya. Bahkan, anak yang sudah beberapa tahun menikahpun masih banyak yang membutuhkan didikan orang tuanya. Karena itu, selagi orang tua masih hidup maka mereka tetap wajib mendidik anaknya meskipun anaknya sudah dewasa, atau bahkan sudah berkeluarga sekalipun. Terutama anak wanita yang baru mereka nikahkan, hendaknya banyak mendapatkan nasihat dari orang tua agar dia bisa bergaul dengan suaminya dengan baik dan mampu menunaikan kewajibannya terhadap suaminya. Perhatikanlah Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bagaimana kesungguhan beliau dalam mendidik anak walaupun sudah berkeluarga.
Sahl bin Sa'ad Radhiyalahu 'anhu berkata : Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam datang ke rumah Fatimah, tetapi beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak menjumpai sahabat Ali Radhiyalahu 'anhu (menantunya). Lalu beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam bertanya (kepada Fatimah, putrinya): "Dimana anak pamanmu (Ali)?" Fatimah berkata : Dia sedang ada masalah dengan aku, lalu dia menjauhiku dan keluar, tidak mau tidur siang bersamaku. Lalu Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam menyeru seseorang : "lihat, dimana dia!" Lalu iapun datang dan berkata : wahai Rosululloh, dia tidur di masjid. Lalu Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam mendatanginya sedangkan dia Radhiyalahu 'anhu sedang berbaring dan selendangnya terlepas dari lambungnya sehingga badannya terkena debu, lalu Rosululloh mengusapnya seraya berkata : "Wahai Abu Turob, bangunlah! Wahai Abu Turob, bangunlah!" (HR. Muslim 12/135)
Ali bin Abu Tholib Radhiyalahu 'anhu mengabarkan : sesungguhnya Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam membangunkannya dan Fatimah, putri Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam, pada suatu malam seraya bertanya: "tidakkah kalian berdua sholat malam?" Lalu aku (Ali bin Abu Tholib) berkata: Wahai Rosululloh! Jiwa kami ditangan Alloh. Jika Alloh menghendaki kami bangun maka kami akan bangun. Ketika kami bicara demikian, maka beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam pun berpaling dan beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak membantahku sedikit pun. Lalu aku mendengar beliau ketika berpaling sambil memukul pahanya membaca ayat :
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS al-Kahfi [18]: 54) (HR. Bukhori 4/288)
Subhanalloh, alangkah baiknya akhlak dan perangai Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam sebagai mertua. Menantunya dicari, dikasihani dan disayangi, serta dibersihkan debu yang mengenai badannya. Begitu besar jerih payah beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam ketika keluar malam hari bermaksud baik membangunkan anak dan menantunya agar menunaikan sholat malam. Meski jawabannya cukup menusuk perasaan, beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam sebagai mertua tidak marah dan tidak putus asa. Inilah suri tauladan orang tua yang baik kepada anak dan menantunya. Alangkah indahnya bila sebagai orang tua yang tatkala anaknya bermasalah dengan menantunya ia meniru jejak beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam, sehingga menantu akan bertambah senang insya-Alloh.
Semoga nasihat ini membantu para orang tua untuk menolong anaknya agar selamat dari fitnah syahwat yang haram sehingga bisa menghindarkan diri dan keluarganya dari adzab Alloh subhanahu wa ta'ala.